Ahmad Yosi Herfanda
Redaktur dan pelayan sastra
Sumber: Republika Minggu, 22 Juni 2008
Peran dan keberadaan (eksistensi) Abdul Hadi WM dalam sastra
Jika kebudayaan adalah sistem nilai, dan kesastraan adalah ekspresi terpenting kebudayaan, maka Abdul Hadi WM -- dengan nilai-nilai esoterik Islam yang dikembangkannya melalui sastra itu -- adalah paradigma kebudayaan
Orientasi penciptaan
Bagaimana sebuah karya sastra dicipta dan bagaimana fungsinya di masyarakat, sangat tergantung pada komitmen estetik, dan orientasi penciptaan pengarangnya. Berdasarkan tujuan penciptaannya, Abrams mengelompokkan karya sastra ke dalam empat orientasi.
Pertama, karya sastra sebagai tiruan alam atau penggambaran alam. Kedua, karya sastra sebagai media untuk mencapai tujuan tertentu pada pembacanya. Ketiga, karya sastra sebagai pancaran perasaan, pikiran, ataupun pengalaman sastrawannya. Dan, keempat, karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, mandiri, lepas dari alam sekeliling, pembaca maupun pengarangnya.
Pada ‘orientasi kedua Abram, karya sastra dipandang sebagai media untuk tujuan-tujuan yang cenderung pragmatik. Misalnya saja, sastra untuk pencerahan dan pencerdasan masyarakat, untuk sosialisasi nilai-nilai dan ajaran agama, untuk membangun kesadaran politik tertentu, atau untuk mendorong munculnya kesadaran sosial tertentu guna mendorong proses perubahan sosial.
Dalam bahasa tokoh renaisans
Orientasi yang cenderung pragmatik itu juga terlihat pada sajak-sajak patriotik Rabendranat Tagore yang ikut mendorong semangat patriotisme kaum terpelajar India untuk membebaskan bangsanya dari penjajahan Ingris, sajak-sajak Kahlil Gibran yang ikut menyebarkan kearifan hidup bagi jutaan pembacanya di berbagai negara, atau sajak-sajak cinta tanah air Moh Yamin yang ikut mendorong tumbuhnya rasa cinta tanah air dan kesadaran akan pentingnya memiliki bangsa yang merdeka. Dan, tentu juga terlihat pada sajak-sajak Abdul Hadi WM yang ikut mendorong peningkatan kualitas kesalehan sosial dan spiritual pembacanya.
Sajak berjudul Tuhan, Kita Begitu Dekat berikut ini cukup representatif untuk menggambarkan komitmen dan orientasi estetik Abdul Hadi WM:
Tuhan,
Kita begitu dekat
Seperti api dan panas
Aku panas dalam apimu
Tuhan,
Kita begitu dekat
Seperti kain dan kapas
Aku kapas dalam kainmu
Tuhan,
Kita begitu dekat
Seperti angin dan arahnya
Kita begitu dekat
Dalam gelap
Kini aku nyala
Pada lampu padammu
Bila dibaca sepintas, sajak tersebut di atas terkesan sederhana, hanya menggambarkan kedekatan penyair (Abdul Hadi WM) dengan Tuhannya, dengan metafor api dan panas, kain dan kapas, serta angin dan arahnya. Tapi, kalau dikaji secara intertekstual -- dengan metode intertekstualitasnya Julia Christeva -- sajak tersebut dapat dikaitkan dengan konsep yang rumit tentang tasawuf.
Menurut Kristeva, intertekstualitas merupakan kunci untuk memahami sebuah teks sastra secara lengkap. Dalam dua bukunya -- Revolution in Poetic Language (1974) dan Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature and Art (1979) -- Kristeva mengingatkan pentingnya dimensi ruang dan waktu dalam menafsir teks sastra.
Menurutnya, sebuah teks sastra diciptakan di dalam ruang dan waktu yang konkret. Karena itu, selalu ada relasi antara suatu teks sastra dengan teks lainnya dalam suatu ruang, dan antara satu teks sastra dengan teks sebelumnya di dalam garis waktu.
Puisi memang karya imajinatif -- lahir melalui proses penciptaan yang mengandalkan kemampuan pencitraan (imagery) tentang suatu pemikiran atau perasaan tertentu. Tetapi, persoalan yang diangkat akan selalu berkait dengan persoalan yang hidup di ruang dan waktu yang kongkret, yang mempengaruhi pikiran dan perasaan penyairnya, serta keyakinan estetik – bahkan ideologi dan keberagamaan -- sang penyair. ( )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar