KEJAYAAN PAKUAN PAJAJARAN MENURUT NASKAH KUNO DAN TULISAN ORANG PORTUGIS.
oleh: Taufik Hassunna (Aktifis LSM Masyarakat Cinta Bogor)

Pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja, terjadi hubungan internasional yang pertama dengan bangsa Eropa, bilateral dengan Portugis pada tahun 1513, sedangkan negara-negara lainnya yang sempat jadi sahabat dalam perdagangan diantaranya : Cina, Keling, Parsi, Mesir, Madinah, Campa, Pahang, Kelantan, Jawa dan beberapa puluh negara yang ada di Nusantara lainnya. Untuk kepentingan ini, menurut naskah kuno Kropak 630 Sanghyang Siksakandang Karesian, telah disiapkan “Jurubasa Darmamurcaya” atau maksudnya Juru Penerang Bahasa yang tentu saja termasuk “Ahli Bahasa” dan “Penterjemah Bahasa” di dalamnya.
Walaupun saat itu oleh masyarakat dikenal sebagai “Kerajaan Pajajaran”, tapi ketika saling tukar menukar utusan, Sri Baduga Maharaja secara resmi menyebut negaranya “Kerajaan Sunda”.
REPORTASE TOME PIRES

Dari sumber dokumen Portugis maupun Nagara Kretabhumi memberitahukan bahwa tokoh ini pernah diutus ayahnya (Sri Baduga) untuk menghubungi Alfonso d’Albuquerque di Malaka. Dari catatan dokumen Portugis ia disebut dengan “Ratu Sangiang” dalam Kretabhumi disebut “Sang Kumara Ratu Sanghyang Ya Ta Sang Prabu Shurawisesa”.

kunjungan yang kedua adalah kedatangan utusan Portugis ke ibukota Pakuan, perutusan ini dipimpin oleh Hendrik de Leme.
Tome Pires menulis catatan perjalanan itu yang kemudian dibukukan dengan Judul ” The Suma Oriental” (terjemahan Armando Cortesao) London, 1944. Dari tulisan inilah banyak kita dapatkan informasi menarik ,salah satunya adalah informasi mengenai Kerajaan Pajajaran, ibukota Pakuan dan mengenai Prabu Sri Baduga Maharaja, raja Pajajaran yang terkenal.

Menurut catatan reportase Tome Pires, penduduk ibukota Pakuan Pajajaran berjumlah 50.000 jiwa.
Pelabuhan-pelabuhan penting kerajaan Pajajaran tercatat: Banten, Pontang, Cigede, Tangerang, Kalapa, Karawang dan Cimanuk. Sehingga Tome Pires menyebut Kerajaan Pajajaran sebagai ” Negeri Ksatria dan Pahlawan Laut”.
Komoditi ekspornya : beras, lada, kain tenun, tamarin (asem), juga diceritakan bagaimana melimpah ruahnya sayuran dan daging di pasar-pasar.
Impornya : tekstil halus dari Cambay, kuda dari Pariaman 4000 ekor pertahun.
Alat pembayaran : Uang Emas dan Uang Kepeng.
Alat pembayaran : Uang Emas dan Uang Kepeng.

Kesan tentang Raja Sunda , Tome Pire menulisnya : The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men”. (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur), hampir sama kesannya dengan penulis naskah kuno “Carita Parahiyangan” : Disilihan ku Prebu, naléndraputra premana, inya Ratu Jayadéwata, sang mwakta ringRancamaya, lawasniya ratu telupuluhsalapan tahun.Purbatisti, purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal, musuh alit. Suka kreta tanglor, kidul, kulon, wétan, kena kreta rasa.Tan kreta ja lakibi dina urang réya, ja loba di Sanghiyang Siksa. (Sumber: SANGHYANG SIKSAKANDANG KARESIAN, naskah kuno yg sekarang tersimpan di Museum Nasional Jakarta)
Purbatisti-Purbajati atau “Peraturan dan Ajaran Leluhur” yang berlaku umum dan harus dipatuhi disebut sebagai Sanghiyang Siksa yang saat ini naskah aslinya disimpan pada Kropak 630 milik Museum Pusat Jakarta, terdaftar sebagai seri naskah Manuscript Soenda B, Penulisan menjelaskan bahwa nama isi naskah tersebut adalah “Siksakandang Karesian ” dan “Kundangeun Urang Reya” (untuk pegangan hidup orang banyak).
Naskah itu terdiri atas 30 lembar dan pada akhir naskah dicantumkan tahun penulisannya nora catur sagara wulan yang berarti tahun 1440 saka atau 1518 masehi. Siksakandang Karesian ini semacam perundang-undangan yang berlaku pada masa itu.
Dari naskah kuno itulah kita dapat mengetahui nilai-nilai tradisional yang berlaku pada masa Kerajaan Pajajaran. Sebab angka tahun penulisan naskah adalah tahun 1518 Masehi, sejaman dengan masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja yang berkuasa dari tahun 1482 sampai dengan tahun 1521Masehi.
Dari naskah Siksakandang Karesian pada lembar ke 13 ada contoh pelajaran moral tentang kritik yang intisarinya: kita harus jembar hati dalam hal menerima kritik, bila kita menerima kritik, budi kita akan makin padat berisi “KANGKEN PARE BEURAT SANGGA” yang berarti “seperti padi runduk karena berat isinya”..
Dari Siksakandang Karesian kita akan mengetahui berbagai aspek kehidupan berdasarkan keahliannya masing-masing seperti: bila ingin tahu semua cerita wayang, bertanyalah kepada “MEMEN“. Bila ingin tahu segala macam lagu bertanyalah kepada “PARAGUNA” (ahli karawitan). Ahli permainan kaulinan disebut “EMPUL“, ahli cerita pantun”PREPANTUN“. Ahli lukis: “LUKIS“, ahli tempa besi dan ahli membuat perkakas: “PANDAY”, ahli ukir:”MARANGGUY“, ahli masak: “HAREUP CATRA“, ahli batik: “PANGEUYEUK“, ahli perang: “HULUJURIT” ,ahli mantera: “SANG BRAHMANA”, ahli ilmu pengetahuan alam: “BUJANGGA“, ahli kenegaraan :”RAJA“, ahli tanah, “MANGKUBUMI“, ahli pelabuhan: “PUHAWANG” ahli hitung dagang: “CITRIK”, ahli bahasa asing: “JURUBASA DARMAMURCAYA”.
Banyak hal hal yang patut diketahui tentang “kearifan kebudayaan” dari kitab Sanghiyang Siksakandang Karesian. Dalam banyak hal isi Siksakandang Karesian lebih mirip Ensiklopedi Sunda pada jaman itu. Mungkin naskah kuno kropak 630 itulah merupakan manifestasi “Wangsit Siliwangi”
PRASASTI BATUTULIS (saat ini masih utuh terletak di jalan Batutulis Kota Bogor)



Inilah contoh bijak seorang raja/pemimpin yang baik dan bijaksana bernama Sri Baduga Maharajá Ratu Hají di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratudewata atau masyarakat menyebutnya sebagai Prabu Siliwangi.
Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam naskah Siksakandang Karesian (Kropak 630) sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis
Menurut tradisi lama, orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda.

Taufik Hassunna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar