Minggu, 06 Juli 2008

The Spirit of Inclusive Islam in Ikhwan al-Shafa

The spirit of inclusive Islam

in Ikhwan Al-Shafa

Ida Indawati Khouw , The Jakarta Post , Jakarta | Sun, 07/06/2008
A 1,000-year-old legacy is waiting to be unveiled to present-day human beings. Through it the people of modern times, especially Muslims, could learn what it means to be open and inclusive toward other identities, while still being religious.


The four volumes and 1,959 pages of the Rasa'il Ikhwan Al-Shafa (the Epistle of the Brethren of Purity) will remain under wraps for two more months before being revealed to Indonesians. It is still in the process of translation and editing from the original 10th century Arabic, in the expert hands of the Center for Islamic Studies and Information in South Jakarta (CIPSI).

Rabu, 02 Juli 2008

Seni dan Religiusitas-Spiritualitas Islam

Abdul Hadi W. M.

Perdebatan tentang boleh tidaknya musik dalam Islam telah berlangsung lama. Secara perdebatan-perdebatan tersebut lebih banyak didasarkan atas hadis-hadis tertentu, yang bilangannya tidak cukup besar. Padahal tidak kalah besar pula bilangan hadis yang membolehkan penggunaan musik dan seni suara, baik dalam rangka syiar Islam maupun dalam rangka perkembangan kebudayaan Islam. Di tengah pertentangan dan perdebatan itu pula muncul kecenderungan ekstrim, dalam arti langsung menetapkan halal dan haramnya seni dalam Islam, termasuk musik dan seni suara. Berkaitan dengan sikap seperti itu, tidak sedikit orang lupa bahwa hukum Islam tidak hanya berada di antara dua kutub yang berlawanan, yaitu halal dan haram. Di antara keduanya terdapat kutub-kutub lain seperti sunnah, mubah dan makruh.

Sastra, Abdul Hadi, dan Fenomena Puisi Sufistik

Bagian terakhir dari tiga tulisan Ahmadun Yosi Herfanda
Redaktur sastra Republika

Dalam bahasa A Teeuw, karya sastra tidak pernah lahir dari ruang kosong -- selalu ada teks-teks lain yang ikut mempengaruhi proses kelahiran dan ikut mewarnai karakternya. Dalam kasus sajak Abdul Hadi tersebut di atas, teks-teks yang mempengaruhinya adalah konsep-konsep tentang tasawuf.

Selasa, 01 Juli 2008

PARADOKS GLOBALISASI:

MEMIKIRKAN KEMBALI ARAH KEBUDAYAAN KITA

Oleh Abdul Hadi W. M.

(Disampaikan Pada Orasi Pengukuhan Guru BesarDalam Bidang Ilmu Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, Jakarta 11 Juni 2008).

Pengantar:

Pengukuhan Prof Dr Abdul Hadi WM Diwarnai Diskusi

Kebudayaan dan Musikalisasi Puisi
( http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=203253 )

Hujan baru saja reda. Sehingga acara pembacaan dan musikalisasi puisi Abdul Hadi : Kado Untuk Maestro berjalan lancar yang digelar di halaman kampus Universitas Paramadina, Jl Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Rabu malam lalu.

Malam itu merupakan hari kedua acara Tapak Budaya Paramadina: Tiga Hari Bersama Prof Dr Abdul Hadi WM, menjelang pengukuhan penyair Dr.Abdul Hadi Wiji Muthari sebagai guru besar dalam bidang Ilmu Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, pekan lalu.

Sejumlah penyair membacakan puisi-puisi karya Abdul Hadi yaitu Sutardji Calzoum Bahri membacakan puisi Sarangan dan Tanya, Slamet Sukirnanto.membacakan puisi Tuhan, Kita Begitu Dekat, Diah Hadaning memilih puisi Surat Atas Hidup. Kemudian tampil beberapa penyair lainnya seperti Leon Agusta, Wowok Hesti Prabowo, Adri Darmadji Woko, Ahmadun Yosi Herfanda, Jamal D Rahman, Endang Supriadi, dan Wanda Leopolda. Tak ketinggalan cerpenis Hamsad Rangkuti setelah membaca puisi Abdul Hadi juga membaca cerpen sendiri Ayahku Seorang Guru Mengaji.

Pembacaan puisi diawali Ayusha Ayutthaya - putri bungsu Abdul Hadi yang membacakan puisi ayahnya Akhirnya Kita Bertemu Lagi terjemahan dalam bahasa Mandarin.

Acara malam itu diisi dengan orasi budaya Paradigma Abdul Hadi WM Dalam Kebudayaan Indonesia oleh Rektor Universitas Paramadina Anies Rasyid Baswedan, Ph.D.

Sehari sebelumnya diselenggarakan diskusi kebudayaan menampilkan pembicara Sukron Kamil mengusung topik Sastra Islam Dalam Perspektif Abdul Hadi WM. Sementara Sutedjo mengetengahkan masalah Menimbang Paradigma Sastra Profetik Abdul Hadi Dalam Pembelajaran Sastra, dan Ahmadun Yosi Herfanda mengemukakan isu Paradigma Abdul Hadi WM Dalam Sastra Indonesia.

Abdul Hadi, kelahiran Sumenep, Madura, 24 Juni 1946, menerbitkan 12 antoloji puisi, di antaranya Arjuna in Meditation bersama Darmanto Jt dan Sutardji Calzoum Bachri, dan antoloji puisi dalam bahasa Inggris (At Last We Meet Again). Sejumlah puisi Abdul Hadi diterjemahkan dalam 14 bahasa yaitu Belanda, Jerman, Inggris, Prancis, Jepang, Mandarin, Thailand, Spanyol,Urdu, Arab, Rusia, Korea, Bengali dan Turki.

Penerima berbagai penghargaan dalam dan luar negeri ini juga menulis sebanyak 7 buah buku fiksi, beberapa kajian sastra dunia dan terjemahan karya, serta lebih dari 500 artikel, esai, dan karangan ilmiah di berbagai media tentang sastra Indonesia, sastra dunia, kebudayaan, dan falsafah. Lebih dari 35 tahun ia menggeluti kesusasteraan, sufisme dan khazanah intelektual nusantara.

Mantan Ketua Dewan Kesenian Jakarta dan mantan redaktur berbagai media cetak ini meraih gelar MA dan Ph.D di Universitas Sains Malaysia (1992-1996). Beberapa tahun sebelumnya kakek dari 3 cucu dan ayah dari 3 putri ini menimba ilmu di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta Fakultas Sastra (1964-1967) dan Fakultas Filsafat (1968-1971).

Pengukuhan sebagai Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, Abdul Hadi WM menyampaikan orasi bertajuk Paradoks Globalisasi : Memikirkan Kembali Arah Kebudayaan Kita dalam sidang terbuka Senat Universitas Paramadina, dihadiri sejumlah undangan, di Auditorium Nurcholish Madjid, Rabu lalu. Dengan pengukuhan Abdul Hadi, perguruan tinggi yang didirikan oleh Prof. Dr.Nurcholish Madjid (almarhum) ini memiliki tiga orang Guru Besar.

Dalam orasinya Abdul Hadi mengemukakan, bidang yang ditekuninya adalah sejarah falsafah dan kesusastraan. Namun disiplim ilmu seperti ini tidak dituntut sekadar sistematis dalam menelaah sesuatu. Tetapi lebih dituntut. sifat reflektif.

Menurut Abdul Hadi bahasa adalah media komunikasi dan ekspresi terpenting bagi manusia dan tidak bisa digantikan oleh media lain. Bahasa adalah perwujudan kebudayaan yang merangkum di dalamnya khazanah pemikiran, gagasan, dan ingatan kolektif sesuatu masyarakat termasuk pengalaman sejarahnya. Tanpa bahasa, manusia tidak akan berpikir dan menanggapi dunia sekitarnya dengan baik. Karena, tidak ada manusia yang dapat berpikir di luar bahasa.

Berbicara kebudayaan dalam pengertiannya bersifat memelihara, baik kebersamaan maupun kebebasan individu yang terkendali. Kebersamaan ada jika ada solidaritas atau apa yang disebut gotong royong oleh Bung Karno dan koletivisme oleh Bung Hatta. Kebersamaan membuat hidup menyenangkan.

Selain itu kebudayaan dapat memulihkan kesatuan apabila masyarakat terancam perpecahan. Kebudayaan juga mengembalikan apa yang sering hilang pada manusia, yaitu cinta dan rasa persaudaraan dengan sesamanya. Karena, tujuan kebudayaan ialah menciptakan kesatuan dan kebersamaan maka yang menjadi ancaman utama bagi kebudayaan ialah politik praktis dan anarkis.

Kebudayaan dimaksudkan untuk mengangkat martabat atau harkat manusia sebagai makhluk spritual. Simbol dan tingginya martabat manusia terletak pada kebajikan, kecerdasan dan kreativitasnya. Kebudayaan yang sejati adalah milik bersama anggota sebuah komunitas yang disebut bangsa atau etnik. Karena itu, kebudayaan selalu dikaitkan dengan komunitas. Dan kebudayaan tidak pernah dikaitkan dengan orang seorang atau suatu kelompok kecil manusia, seperti kelompok aliran keagamaan tertentu. (Susianna)


PARADOKS GLOBALISASI:

MEMIKIRKAN KEMBALI ARAH KEBUDAYAAN KITA

Oleh Abdul Hadi W. M.

Hadirin yang mulia,

Izinkan saya awali dialog ini dengan menyampaikan puji syukur kepada Allah s.w.t. sebab berkat pertolongan-Nya semata majlis ini dapat diselenggarakan penuh khidmat. Terimakasih saya sampaikan kepada segenap pimpinan dan civitas akademika Universitas Paramadina yang telah memberi kesempatan kepada saya pada hari yang penting ini untuk menyampaikan pidato pengukuhan saya selaku guru besar pada Fakultas Falsafah dan Peradaban, khususnya Program Studi Falsafah dan Agama. Tidak kurang pula penghargaan dan terimakasih saya alamatkan kepada hadirin yang telah meluangkan waktu menghadiri majlis ini.

Hadirin yang mulia,

Tentang kehadiran globalisasi ada perumpamaan menarik, yaitu dalam parabel Kafka Metamorphosis: Seorang pemuda pada suatu pagi bangun tidur dan melihat dirinya telah berubah bentuk menjadi seekor kecoa raksasa. Keluarganya mula-mula terkejut dan heran, namun perlahan-lahan dapat memahami, walaupun tak jarang waswas dan sering melontarkan makian. Namun pada akhirnya dengan terpaksa mereka menerimanya juga dan tidak mempersoalkan lagi keberadaannya.

Hadirin yang mulia,

Globalisasi adalah sebuah gagasan menarik, namun dalam perkembangannya ia memperlihatkan banyak paradoks. Definisi tentangnya juga sangat aneka ragam. Kadang ia dipadankan dengan globalisme. Seperti globalisme, tak jarang pula ia dikaitkan dengan modernisme dan modernitas, suatu keharusan sejarah agar suatu masyarakat negara dianggap maju. Dilihat dari perjalanan sejarahnya yang panjang, ia kerap diartikan sebagai perluasan kapitalisme. Idea-idea dan bahkan ideologi-ideologi besar di bidang falsafah, keilmuan, sosial, budaya dan ekonomi, yang menopang gerak maju perkembangannya sangat kompleks. Meliputi idea-idea dan ideologi-ideologi, serta semangat budaya yang muncul dan berkembang dalam babakan-babakan penting sejarah peradaban Eropa sejak bangkitnya humanisme modern dan revolusi ilmu pada abad ke-17 M, yang diikuti dengan bangkitnya kapitalisme dan munculnya kolonialisme Barat di dunia yang sekarang sebagian besar disebut Dunia Ketiga.

Perkembangan itu berjalan terus hingga sekarang melalui babakan penting sejarah berikutnya seperti datangnya Revolusi Industri yang melahirkan kelas baru dalam masyarakat kapitalis yaitu kaum borjuis dan juga ideologi-idelogi kemasyarakatan dan kemanusiaan seperti liberalisme, individualisme, sosialisme, dan lain sebagainya. Selama itu pula globalisasi pada tahap lanjut perkembangannya ditopang oleh lahirnya aliran-aliran falsafah dan keilmuan yang dominan seperti rasionalisme, idealisme, positivisme, historisisme, evolusionisme, dan lain sebagainya. Hasrat-hasrat duniawi dari pribadi-pribadi Faustian yang ambisius, untuk menaklukkan dan menguasai dunia secara ekonomi, politik dan budaya, merupakan pendorong utamanya.

Dalam bentuk klasiknya, pribadi-pribadi ambisius seperti itu dijumpai dalam diri penakluk besar seperti Julius Caesar dari Romawi, Darius Agung dari Persia, dan Jengis Khan dari Mongolia. Pada zaman modern pribadi seperti itu tampak dalam diri orang-orang seperti Napoleon Bonaparte, Hitler, Mussolini, Kaisar Hirohito, dan Bush. Mereka meluaskan wilayah kekuasaannya terutama melalui operasi-operasi militer yang tidak mengenal perikemanusiaan. Kolonisasi yang dilakukan bangsa Spanyol, Portugis, Inggeris, Belanda, Perancis, dan lain-lain pada abad ke-16 – 20 M atas negeri-negeri Asia, Afrika, dan Amerika Latin, yang pada mulanya dijalankan melalui perluasan monopoli perdagangan, adalah globalisasi modern tahap awal dan madya yang dikenal dalam sejarah dunia.

Sebagaimana diketahui, munculnya kolonialisme pada abad-abad tersebut, terkait langsung dengan perluasan kapitalisme (Al-Hakim 2005). Bedanya globalisasi pada masa itu adalah negara atau nation-state yang ingin memperluas kekuasaan ekonomi, politik, dan kultural. Caranya antara lain dengan menggunakan perusahaan-perusahaan dagang yang telah ada di negeri tersebut seperti VOC (Verenidge Oest-Indian Company)di Negeri Belanda untuk menancapkan kekuasaannya di wilayah-wilayah yang jauh melalui monopoli perdagangan dan penguasaan kekayaan alam. Globalisasi dalam bentuk yang sekarang adalah kebalikannya. Perusahaan-perusahaan multinasionallah yang pada gilirannya memperalat negara untuk memperluas jaringan pasar modal mereka ke seluruh dunia. Seperti bentuk klasiknya, globalisasi seperti ini tidak jarang menggunakan operasi militer, bahkan menciptakan banyak peperangan di Dunia Ketiga dengan maksud perdagangan senjata yang merupakan sumber devisa terbesar bagi negara adidaya seperti Amerika Serikat.

Dilihat dari perspektif sejarahnysa itu globalisasi merupakan cerminan manusia modern sendiri, sebagaimana digambarkan dengan bagus oleh Goethe (wafat 1832) dalam tragedi Faust. Diangkat dari legenda akhir abad pertengahan tentang seorang tabib yang juga tukang sihir yang amat ditakuti di Eropa ketika itu, Goethe memberi gambaran bahwa manusia modern adalah pribadi ambisius yang tidak pernah puas pada pengetahuan yang dikuasainya (Dilthey 1957). Ia telah menguasai falsafah, sastra, ilmu hukum, kedokteran, dan teologi. Tetapi masih belum merasa memiliki apa-apa. Dia ingin memiliki segala-galanya dan itu hanya dapat dicapai dengan menguasai dua alam sekaligus, yaitu kerajaan dunia dan alam spiritual. Kerajaan benda-benda dan kerajaan ilmu pengetahuan. Karena ilmu yang mampu membuat seseorang menguasai dua alam itu berada di tangan Setan (Mephistopeheles), Faust bersedia menggadaikan jiwanya kepada Setan selama 25 tahun demi cita-cita yang ingin digapainya. Di pengujung usianya Faust memutuskan kontraknya dengan Setan. Dalam hatinya ia berkata, untuk apa lagi tergantung pada Setan, toh ilmu Setan telah dia kuasai. Kini dia menyaksikan betapa kekayaannya begitu melimpah ruah melampaui kekayaan Nabi Sulaiman, dan cukup untuk 100 keturunan. Wilayah kerajaannya juga sebegitu luasnya tidak kalah dari wilayah kemaharajaan Romawi dan Jengis Khan. Namun sang penakluk itu akhirnya sadar juga. Ia merasa perlu bertobat dan minta ampun kepada Tuhan. Sejak itu dia mulai banyak berderma, serta mendirikan rumah sakit, sekolah, universitas, museum seni, yayasan-yayasan kemanusiaan dan tempat-tempat ibadah.

Melalui tragedi Faust ini kita memperoleh banyak iktibar. Sejak awal kelahirannya globalisasi modern itu didorong oleh hasrat untuk menguasai dunia secara material dan sekaligus secara kultural dan spiritual. Hasrat itu menemukan bentuknya yang sesuai setelah bangkitnya kapitalisme, dicapainya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, hadirnya falsafah positivisme, materialisme, dan utilitarianisme, dan berkembangnya ideologi keduniaan serta teori-teori ilmiah yang kesemuanya itu dapat menopang kokohnya globalisasi. Itulah ilmunya Faust. Kekuatannya jauh lebih dahsyat dari ilmu sihirnya tukang-tukang sihir Fir’aun dan Harry Potter.

Hadirin yang mulia,

Bidang yang saya tekuni adalah sejarah falsafah dan kesusastraan. Disiplin ilmu seperti ini tidak dituntut sekadar sistematis dan kritis dalam menelaah sesuatu. Sifat reflektif lebih dituntut. Obyek penelitiannya pula bukan sekadar realitas yang faktual. Berbeda dengan obyek ilmu pengetahuan alam (Naturwissenchaften) yang tidak memiliki sejarah kecuali dalam pikiran sang ilmuwan, obyek ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften) seperti falsafah dan kesusastraan memiliki sejarah. Sejarahnya juga bukan sekadar sejarah aspek-aspek lahirnya, melainkan juga aspek kerohaniannya seperti nilai-nilai dan pandangan dunia (Weltanschauung) yang merupakan jiwa dari perkembangannya (Dilthey 1962).

Globalisasi sebagai bagian dari sejarah ide-ide juga demikian. Ia memiliki sejarah dan sejarahnya meliputi perkembangan dan perubahan sosok lahirnya, sebagaimana perkembangan dan perubahan asas kerohaniannya. Dalam dua aspeknya ini globalisasi melahirkan banyak pengertian, karena manisfestasinya juga beragam sebagaimana maksud dan tujuannya, serta gagasan-gagasan yang mendasari perkembangan dan transformasinya dalam ruang dan waktu yang berbeda-beda. Ada pula yang memberi batasan atau takrif dengan melihat aspek negatifnya, ada pula yang menekankan aspek positifnya.

De Martino (2005) memberi batasan dengan menelaah aspek-aspek negatif globalisasi. Ia mengawali dengan memberi gambaran ringkas tentang Amerika, negeri dari mana globalisasi dalam bentuknya yang mutakhir menyebar ke seantero jagat. Negeri ini menurut De Martino adalah tempat bersemayam otak-otak yang cerdas, tetapi juga kawasan berkembangnya berbagai jenis penyakit masyarakat dan jenayah. Di sini mata uang dollar menjalankan kekuasaan mutlak, blue jeans, coca cola dan Mc Donald menjadi simbol nasional yang membanggakan. Pendek kata, ia merepresentasikan perkampungan global, yang walau kawasan geografisnya terbatas, namun sanggup menyebarkan sistem nilai, pola hidup konsumtif dan gaya hidup hedonisnya ke seluruh dunia. Pola hidup yang semula disebut modern dan kebarat-baratan kini dikenal sebagai pola hidup global.

Pola hidup yang demikian berkaitan dengan pemahaman terhadap globalisasi berdasarkan istilah-istilah ekonomi. Dari sudut pandang ini, globalisasi dimengerti sebagai sistem ekonomi yang didasarkan pada persaingan global di antara perusahan-perusahaan besar yang berkembang subur dalam mayarakat kapitalis. Sistem ini dijadikan model untuk menghilangkan perbedaan antara investasi dalam dan luar negeri, serta memandang planet yang bernama bumi sebagai pasar tunggal di mana siapa saja boleh bersaing dengan bebas. Konsekwensinya, sejalan dengan motivasi jual beli, mereka menjejalkan barang apa saja kepada manusia di seluruh dunia. Dengan demikian globalisasi melahirkan model konsumsi homogen. Itulah sebabnya globalisasi semacam itu disebut globalisasi kapitalis.

Model globalisasi semacam ini dapat dicapai dengan cara menghancurkan rasa kepemilikan manusia atas negerinya (baca: nasionalisme), menghancurkan ikatan alamiah manusia dengan tanah air, agama, kebudayaan, dan berusaha membuat modifikasi dan homogenisasi pola dan cara hidup. Model masyarakat yang diinginkan dalam mendukung globalisasi seperti itu ialah penyebar luasan nilai-nilai kosmopolitan palsu yang sekarang ini diberi istilah “masyarakat multicultural”.

Euben (1999) seraya merujuk pada Dirk dalam bukunya Colonialism and Culture (1992) melihat globalisasi sebagai proyek neo-kolonialisme yang bertujuan meredakan ketegangan yang sering timbul antara dunia Barat dengan dunia selebihnya yang bukan Barat seusai Perang Dingin. Ketegangan itu timbul akibat kesenjangan budaya dan antagonisme sejarah antara kedua pihak. Dunia bukan Barat yang dimaksud ialah seperti yang digambarkan oleh Samuel Huntington dalam bukunya The Clash of Civilization and the Remaking of World Order (1996), yang tidak lain dan terutama sekali Dunia Islam dan Cina. Dua dunia non-Barat ini melahirkan peradaban yang semangatnya sukar ditundukkan oleh peradaban Barat dengan cara apa pun, dan memiliki watak yang antagonistis jika dihadapkan dengan watak peradaban Barat. Yang satu didasarkan atas semangat tauhid, dan yang satunya lagi lahir dari buaian Konfusianisme yang begitu berakar dalam kebudayaan bangsa Cina.

Dalam upaya meretas ketegangan itu Barat (Amerika dan Eropa) memandang dan menggambarkan dirinya sebagai “sang diri” yang merupakan satu-satunya subyek dari sejarah, yaitu pelaku utama perkembangan dan perubahan dunia menuju tatanan baru yang disebut tatanan global. Sedangkan “yang lain” adalah konsumen tetap dari modernitas dan modernisme, serta gagasan lain yang muncul dari lubuk peradaban Barat seperti liberalisme, individualisme, hedonisme, demokrasi, multikulturalisme palsu, mass-culture, dekonstruksionisme, dan lain sebagainya.

Pada zaman kolonial, bahkan jauh sebelum Perang Dunia II, upaya Barat untuk memberi gambaran sebagai satu-satunya subyek sejarah itu muncul dalam bentuk himpunan penelitian tentang dunia Timur yang disebut orientalisme. Gambaran bahwa Barat adalah satu-satunya subyek atau pelaku utama dalam sejarah juga tampak dalam novel-novel yang ditulis oleh pengarang-pengarag Eropa, terutama Inggeris dan Perancis. Untuk meyakinkan bahwa gambaran itu benar dan bisa merasuki jiwa pembacanya di Barat dan negara jajahan, pelaku utama novel-novel itu haruslah orang kulit putih dan tempat kejadian ialah di salah satu negeri jajahan entah di Asia atau di Afrika, entah di Tunisia ataukah Indonesia, entah di Kongo ataukah India.

Contohnya, novel Joseph Conrad Victory yang harus memilih tempat di kepulauan Melayu sebagai latar cerita, sedang pelakunya segerombolan orang Eropa. Novel Rudyard Kipling Jungle Books mengambil setting di India. Max Havelaar karya Multatuli tanpa disadari pengarangnya juga akhirnya menjadikan si kulit putih sebagai pahlawan pembebas pribumi dari penindasan penguasa yang juga pribumi. Penguasa pribumi di sini digambarkan jauh lebih kejam dari penguasa kolonial, padahal si pribumi sebenarnya hanya menjalankan perintah atasannya yaitu si kolonial itu sendiri.

Contoh lain ialah Robinson Crusoe karya Daniel Defoe yang sebenarnya merupakan saduran kreatif dari Hayy ibn Yaqzan, karangan Ibn Tufayl penulis Arab Andalusia abad ke-13 M. Novel ini bercerita tentang seorang lelaki Eropa yang menciptakan kebebasan bagi dirinya di sebuah pulau jauh di luar Eropa (Edward Said 1993). Dalam Hayy ibn Yaqzan setting cerita mengambil tempat di pulau Waqwaq yang terletak di kepulauan Maluku. Mungkin pulau itu pula yang dimaksud penulis Robinson Crusoe. Bandingkan kebebasan berbuat saja yang dilakukan Crusoe di pulau yang jauh dari negerinya ini dengan apa yang dilakukan oleh Rambo dalam film-film buatan Amerika. Sekalipun tokohnya Amerika, tetapi Rambo selalu dihadirkan di negeri nun jauh di sana seperti Vietnam dan Afghanistan. Hanya di negeri yang bergolak itulah Rambo dapat memperlihatkan kebolehannya sebagai jagoan, sesuatu yang mungkin tidak dapat dilakukannya di negerinya sendiri seperti di Texas dan New York yang penuh dengan koboi dan bandit.

Gambaran seperti itu diusahakan dibentuk dan disebarluaskan melalui berbagai wacana termasuk film untuk kepentingan hegemoni mereka. Teori-teori ilmu sosial dan ekonomi, paradigma-paradigma ilmu, berbagai model pemahaman dalam falsafah dan ilmu sastra, dikonstruksi mengikuti semangat seperti yang berlaku dalam pembuatan film Rambo dan fiksi Robinson Crusoe. Semua teori, paradigma dan model pemahaman yang berkembang di luar peradaban Barat (baca di luar tradisi intelektual Barat), oleh karena itu harus ditempatkan sebagai subordinasi dari pemikiran warisan kolonialisme (Chatterge 1993). Apakah sumbernya adalah pemikiran Pencerahan, rasionalisme, positivisme, liberalisme, humanisme sekular, dan lain sebagainya tidak penting. Karena yang paling pokok ialah bahwa teori dan pemikiran itu berasal dari tradisi intelektual Barat.

Pheng Cheah (1998) menerangkan globalisasi sebagai seperangkat perkembangan dan proses yang saling terkait sepanjang dua dasawarsa, yang di dalamnya termasuk arus cepat globalisasi ekonomi, yaitu intensifikasi perdagangan internasional, alih fiskal dan teknologi, dan migrasi tenaga kerja serta konsololidasi dari suatu mode produksi yang murni global melalui subkontrak…” Juga, transnasionalisasi struktur komando militer melalui NATO,

budaya kacukan (hybrid) global akibat kehadiran kaum imigran dari negeri-negeri yang berbeda latar etnis, budaya, agama, dan pendidikan. Dengan demikian, walaupun diterangkan melalui istilah-istilah ekonomi, globalisasi pada akhirnya dapat dipandang sebagai perpanjangan keterkaitan budaya global melalui penyebaran konsumerisme, dengan menggunakan pemampatan ruang dan waktu yang dicapai akibat kemajuan teknologi informasi (De Martino 2007).

Dengan cara demikian kantong-kantong peradaban yang tersebar di seluruh dunia yang budayanya relatif homogen terhubungkan satu dengan yang lain seperti jaring laba-laba. Dari situ diproduksilah kesan-kesan, simulacra dan pengaruh yang kompleks terhadap yang lain. Pendek kata, globalisasi adalah penyebarluasan pola hidup dan cara berpikir Barat kontemporer ke seantero jagat. Demikianlah Barat sepanjang waktu dan di mana saja, senantiasa mencari saat-saat yang tepat untuk menguasai dunia secara material, kultural dan intelektual, sebagaimana para kolonialis Eropa pada babakan awal sejarah globalisasi ketika kapitalisme mulai bangkit pada abad ke-17 dan 18 M. Secara kultural dan intelektual penguasaan dilakukan melalui wacana, seperti penguatan dan pengayaan bahan-bahan kajian tentang Timur yaitu orientalisme sebagaimana telah disebutkan.

Melalui penyebaran wacana-wacana ilmiah dan program-program kebudayaannya itulah, yaitu melalui kolonisasi atau globalisasi sekarang ini, Barat terus menerus mendekonstruksi Timur yaitu citra dan jiwa kebudayaannya, dan menggantinya dengan konstruksi pengetahuan baru berisi gambaran yang disukainya tentang Timur sebagai “yang lain” atau obyek yang patut dijajah, dikuasai dan dicekoki dengan cita rasa Barat dalam hal apa pun. Di antara kategori-kategori yang dipilih untuk mencekoki pikiran kaum intelektual Timur dan mencerabutnya dari akar sejarah dan kebudayaanya, ialah melalui bujukan agar orang-orang Timur yang terdidik bersatu membangun segala bentuk kewenangan atau otoritas baru, pengganti otoritas lama. Cakupannya meliputi bidang agama, bahasa, tradisi budaya, kesusastraan, adat istiadat, hukum atau konstitusi, dan lain sebagainya. Menurut mereka tidak ada lagi kewenangan dalam bidang-bidang ini sehingga semua wacana yang lahir dalam bidang-bidang ini bisa diberi makna semaunya. Ulama dan pendeta tidak lagi punya wewenang menafsirkan kitab suci. Penafsiran yang benar atas konstitusi seperti UUD 45 hanya dapat dilakukan berdasarkan konteks liberalisme atau norma yang berlaku dalam masyarakat liberal. Penafsiran yang benar atas karya sastra hanya penafsiran yang bertolak dari pendekatan Barat seperti strukturalisme, dekonstruksi Derrida atau pendekatan Marxis.

Salah satu cara untuk melegitimasi kekuasaan teori dan paradigma Barat itu ialah dengan membuat dikotomi-dikotomi artifisial yang tidak jarang begitu lemah landasan epistemologinya. Misalnya dikotomi antara sains dan fiksi, ilmu dan mitos, modern dan tradisional, progresif dan kolot, liberal dan fundamentalis, dan lain sebagainya. Dikotomi dan pemilahan seperti itu mengikuti skema rasioalisme Descartes yang memisahkan secara mutlak antara subyek dan obyek, antara yang harus menguasai dan yang harus dikuasai, antara yang memiliki otoritas atas kebenaran dan yang tidak punya wewenang apa-apa atas kebenaran. Di sini sains misalnya dilambangkan sebagai subyek yang menguasai dan fiksi adalah obyek yang harus tunduk pada kekuasaan sains. Sains milik Barat dan fiksi milik Timur. Sains benar, fiksi salah. Liberal benar, fundamentalis salah. Modern/Barat benar, tradisi/Timur salah. Begitulah orientalisme yang telah diterapkan itu, seraya mengajarkan persamaan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, pada saat yang sama mendidik kita setuju pada diskriminasi.

Mari kita periksa dengan teliti misalnya perbedaan antara sains dan fiksi. Sesungguhnya keduanya sama ingin mengungkapkan realitas, hanya caranya berbeda. Sains menggunakan metode empiris dan penalaran rasional, dengan menekankan terkuaknya hal-hal yang dapat dikenal secara kognitif oleh indera dan akal rasional. Sedangkan untuk maksud menggambarkan realitas penulis fiksi menggunakan intuisi dan imaginasinya, sebab hanya dengan demikian karyanya dsapat disebut novel, cerpen atau puisi, bukan sains. Di lain hal ilmu dan mitos sebenarnya tidak bisa dibedakan dilihat dari maksudnya, yaitu mempengaruhi manusia agar meyakini sesuatu yang ingin diyakinkan. Yang berbeda ialah caranya mengungkap kebenaran dan realitas. Bukankah tidak sedikit apa disebut hipotesa atau teori ilmiah sebenarnya hanya mitos? Misalnya teori evolusi Darwin, pertentangan kelasnya Marx, dan lain sebagainya.

Pengenaan kriteria modern dan tradisi/tradisional dalam kesenian atau seni adalah contoh lain yang menyesatkan dan merintangi pemahaman tentang hakikat seni yang sebenarnya sebagai ekspresi estetik. Dalam kenyataan banyak seni yang disebut tradisional sebenarnya lebih modern dari seni yang dipandang modern. Tari Kecak Bali sangat modern dibanding banyak tarian centang perentang yang sering ditayang di TV yang dianggap modern. Juga dibanding teater happening yang sering dipertunjukkan dalam berbagai aksi unjuk rasa. Puisi-puisi Rumi dalam Divan-i Shams Tabriz dan Matsnawi dipandang sebagai karya klasik. Tetapi selama hampir delapan abad pembacanya merasakan selalu ada yang baru dalam kitab tersebut. Sementara begitu banyak puisi-puisi yang lahir di abad ke-20 kehilangan pembacanya padahal dicipta dengan tujuan menjadi karya modern.

Hadirin yang mulia,

Kembali ke masalah wacana dikotomis modernitas yang bertujuan memisahkan siapa yang dipandang kita dan siapa yang harus dipandang mereka. Dikotomi semacam itu kemudian diubahsuai menjadi bentuk-bentuk rasionalitas yang kegunaannya berlaku dalam segala aspek kehidupan. Inilah perangkat lunak pembentuk modernitas, yang merupakan aspek batin lain dari globalisasi dalam sejarahnya. Penekanan pentingnya rasionalitas ini dalam narasi modernitas ditingkatkan untuk memudarkan kepercayaan terhadap otoritas Yang Transenden. Malangnya di Barat sendiri keabsahan pengertian modernitas seperti itu sejak lama mendapatkan kritik hebat. Dalam penerapannya ia malah sering menimbulkan kerancuan, misalnya apabila dikenakan untuk membedakan antara kebudayaan yang maju dan kebudayaan yang mundur, kebudayaan yang dianggap modern dan tradisional.

Ini terlihat juga dalam tulisan banyak cerdik pandai kita sejak awal abad ke-20 hingga kini. Misalnya karena tiada batasan yang jelas tentang modernitas dan modernisme, lantas terjadi kesimpangsiuran dalam menentukan kapan seni lukis modern Indonesia dimulai, dan kapan pula sastra Indonesia/Melayu modern muncul. Di antara ahli sejarah seni rupa ada yang berpendirian bahwa pelopor seni lukis modern di Indonesia ialah Raden Saleh Syarif Bustaman. Ada menganggap pelukis yang bergabung dalam PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) termasuk Sudjojono di dalamnya. Tetapi kriteria yang digunakan mudah sekali diperdebatkan. Raden Saleh dianggap pelopor seni lukis Indonesia modern karena lukisan-lukisannya naturalis mengikuti aliran yang berkembang di Eropa pada abad ke-18 M. Kalau naturalis atau realis dijadikan ukuran kemodernan lukisan, kita tidak perlu susah payah mencari kapan seni lukis modern bermula di negeri ini. Cukup melihat relief Candi Borobudur, terutama gambar-gambar pada dinding balustradenya. Wah, itu jauh lebih realis dari lukisan Raden Saleh atau Sudjojono.

Dalam sejarah sastra Indonesia/Melayu ada sarjana berpendapat bahwa penulis modern pertama ialah Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Bakri Siregar malah menyebut Multatuli karena karyanya Max Havelaar revolusioner. Sarjana-sarjana Inggris dan Belanda yang memilih Abdullah Munsyi didasarkan atas alasan bahwa karangannya bercorak realis mengikuti gaya yang umum berlaku di Eropa ketika itu dan juga menampilkan kehadiran orang Eropa dalam fiksinya. Ini konyol. Kalau hanya persoalannya realis atau tidak, Encik Amin penulis Syair Perang Makassar akhir abad ke-17 M telah mendahuluinya. Sebagian sarjana mengatakan bahwa ukuran modern dalam sastra terletak pada ciri anti-mitos, dan anti-feodalismenya, selain penonjolan individualitas dan rasionalitas. Berdasarkan ini Naquib al-Attas (1970) mengajukan Hamzah Fansuri, penyair sufi Melayu Aceh abad ke-16 M, sebagai pelopor kemodernan dalam sastra Melayu/Indonesia, karena ciri-ciri yang disebutkan itu telah dipenuhi dalam puisi-puisi tasawufnya.

Karena kerancuan pengertiannya itu, terutama dalam penerapannya di bidang kehidupan yang berbeda-beda, muncul banyak perdebatan mengenai apa yang disebut “kondisi modernitas”. Bendix (1967) misalnya memandang bahwa modernitas bermula pada abad ke-18 di Eropa sejak munculnya rasionalisme Descartes sebagai kelanjutan dari semangat Renaissance akhir abad ke-15, hampir bersamaan dengan bangkitnya Protestanisme. Di sini selain dengan rasionalitas, modernitas dikaitkan juga dengan humanitas yang meninggikan pencapaian-pencapaian tinggi bukan saja di bidang sains, tetapi juga di bidang artistik seperti tampak pada pribadi genius semisal Leonarde da Vinci dan Michel Angelo. Berarti modernitas terkait dengan terealisasikannya potensi kerohanian manusia secara maksimal, termasuk bakat artistiknya yang tidak rasional.

Hawthorn (1972) menghubungkan globalisasi dengan semangat Pencerahan yang meninggikan penalaran kritis, tanpa menyertakan pentingnya kemampuan spiritual lain di luar itu. Hegel pada awal abad ke-19 berpendapat bahwa modernitas berawal dari pemikiran Thomas Hobbes abad ke-17, sedangkan Strauss (1960) menyebut teori politik Thomas Hobbes adalah kelanjutan dari teologi Abad Tengah. Lawrence (1989) bahkan lebih jauh menyatakan bahwa terdapat perbedaan cukup besar antara modernitas dan modernisme. Yang pertama, modernitas adalah proses yang berkaitan dengan modernisasi yaitu westernisasi. Cakupannya ialah peningkatan birokratisasi, teknokrasi, rasionalisasi, dan pertukaran global. Sedangkan modernisme ialah paham yang menekankan keupayaan individu mencari kemandiriannya didorong oleh motif-motif yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial yang tertuju pada perubahan.

Selanjutnya Hawthorn menyatakan bahwa dalam dinamikanya modernisme menandai tercapainya globalisasi, yaitu perluasan dan perpanjangan tujuan-tujuan kolonialisme dan ekspansi kapitalis. Batasan modernisme seperti ini, yang di dalamnya globalisasi kapitalisme tercakup, membuat globalisasi menjadi sesuatu yang menakutkan. Dilandasi falsafah ekonomi yang disebut neo-liberalisme, yang ingin menjadikan pasar bebas sebagai pusat peradaban dan kebudayaan di seluruh dunia, globalisasi semacam ini telah dirasakan akibatnya sekarang di mana kesenjangan antara negara kaya dan negara miskin, sebagaimana kesenjangan antara orang kaya dan miskin semakin menjadi-jadi. Oleh karena tak mengejutkan jika Stiglitz (2002) kecewa. Katanya, “Globalisasi yang sedang berlangsung sekarang ini tidak dapat dinikmati sebagian besar negara miskin, tidak berlaku untuk berbagai kalangan, juga tidak berlaku untuk stabilitas ekonomi global.” Testimoni Stiglitz sudah tampak dan krisis ekonomi yang dialami negeri ini sekarang adalah anak kandung dari globalisasi seperti itu.

Hadirin yang mulia,

Secara kultural dampak buruk globalisasi tidak kurang dirasakan. Di kota-kota besar sekarang ramai orang memilih makan KFC, Mc Donald, Pizza Hutt , dan lain-lain bukan karena ingin memperoleh makanan yang lezat dan bergizi. Tetapi lebih disebabkan dorongan mode. Yang dihasratkan ialah menjadi Americanize dengan cara semudah-mudahnya.

Paradoks globalisasi dikemukakan dengan baik oleh Daniel Bell dalam bukunya The Culture Contradictions of Capitalism (1976) yang memaparkan sebagai berikut: Sejarah kapitalisme dimulai dengan bangkitnya ethos Protestanisme. Ethos ini melahirkan orang yang berprinsip menggunakan uang untuk menciptakan uang. Prinsip ini ditegakkan untuk memenuhi panggilan agama, yaitu memajukan kesejahteraan untuk mencapai keselamatan. Untuk mencapainya orang harus bekerja keras. Bekerja keras itu menyenangkan. Jadi ada nilai moral yang mendasarinya. Tetapi sorga yang diangankan melalui kerja keras ternyata jauh panggang dari api. Revolusi industri memotong harapan itu. Revolusi ini melahirkan kelas borjuis yang tidak memberi kesempatan pada orang yang bekerja keras, antara lain buruh, untuk menikmati kesenangan. Kesenangan dinikmati hanya oleh para pemilik modal yang lebih banyak bersenang-senang dibanding bekerja keras.

Kapitalisme juga menciptakan kondisi kemanusiaan yang mengenaskan, yaitu ketercerabutan individu dari masyarakat dan tradisi budayanya. Kondisi seperti itu dan manifestasinya seperti keterasingan dan kesebatangkaraan individu modern dalam masyarakat pasar global yang hiruk pikuk, nestapa disebabkan kesepian dan hidupnya hampa makna, telah banyak digambarkan dalam novel-novel modern di Eropa dan Amerika sebagaimana di Asia. Mulai dari The Sorrow of Young Werthernya Goethe di Jerman hingga Kokoro (Rahasia Hati) nya Natsume Soseki di Jepang, dari tingkah polah ganjil kaum atheis revolusionernya Dostoyeksy dalam Notes from the Underground di Rusia sampai individu tanpa rumah sosial dan kultural yang jelas dalam L`Etranger nya Albert Camus di Perancis. Bahkan juga manusia terasingnya Armyn Pane dalam novel Belenggu dan Iwan Simatupang dalam Merahnya Merah dan Koong. Begitu pula sosok manusia terasing yang terus menerus mengembara seperti Ahasveros dan tidak punya rumah sebagai tempatnya pulang, seperti dalam sajak-sajak Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Subagio Sastrowardojo, Sapardi Djoko Damono, dan lain-lain.

Kontradiksi lain dari sejarah kapitalisme ialah koeksisnya pertumbuhan ekonomi yang pesat di satu hal dengan pola hidup konsumtif yang boros di lain hal. Mungkin Bell tidak sepenuhnya benar, tetapi pendapatnya perlu direnungi. Menurutnya, kapitalisme melahirkan paradoks tersendiri dalam pertumbuhan ekonomi. Di bawah rezim kapitalis inflasi menjadi kondisi yang ajeg dibarengi dengan stagnasi. Kesaksian lain datang dari Hannah Arendt, penulis buku The Human Condition (1968) yang terkenal.

Kondisi menyedihkan manusia modern yang hidupnya hampa makna, dirunut ke belakang oleh Hannah Arendt pada krisis otoritas dalam kebudayaan modern. Kita, katanya, telah sebegitu jauh terperangkap dalam wacana rasionalitas dan obyektivitas. Ini berpengaruh pada model-model dan metode-metode penelitian di bidang ilmiah, yaitu model atau metode ilmiah yang dipelajari di lembaga-lembaga pendidikan tinggi. Teori-teori itu diturunkan pada umumnya dari falsafah positivisme dan neo-positivisme. Ia ternyata tidak mampu menjadikan kaum terpelajar memahami dan mampu menjawab pertanyaan eksistensial tentang hakikat manusia dan arti kehidupan. Mereka tak paham bahwa kebebasan dan demokrasi tidak ada sangkut paut langsung dengan kemajuan dan perkembangan kebudayaan.

Di lain hal kita juga melihat betapa banyaknya anasir konstitutif penting dari kebudayaan dan kehidupan sosial dihapuskan oleh modernitas dan modernisame. Salah satu di antaranya yang kurang disadari ialah matinya makna-makna dalam bahasa, kehidupan sosial, birokrasi, dan otoritas ilmu atau epistemology. Dalam birokrasi kita dapat melihat krisis yang timbul setelah kewajiban ‘pertangunggan jawab kepada publik’ diganti dengan kewajiban lain yang lebih abstrak, yaitu efisiensi dan rasionalitas. Asal saja efiesien dan rasional, misalnya melahirkan keuntungan besar, kerja birokrasi harus dipuji kendati korupsi merajalela. Tetapi contoh terbaik ialah dalam bahasa. Demi rasionalitas, banyak makna yang telah mantap dan sarat pesan sehingga mampu memperkokoh kebersamaan kita sebagai komunitas bangsa, diluluhlantakkan. Kata-kata pelacur, karena dianggap melukai perasaan, mula-mula diganti dengan kata WTS atau wanita tuna susila. Pemberian makna baru itu memberi tahu bahwa hanya wanita yang bisa melacurkan diri. Akibatnya kemudian kita tidak bisa berbicara tentang pelacuran intelektual kepada penguasa. Kini kata WTS diganti PSK alias Pekerja Seks Komersial. Padahal kita semua ini adalah pekerja seks, walaupun tidak komersial.

Bahasa adalah media komunikasi dan ekspresi terpenting bagi manusia dan tidak bisa digantikan oleh media lain. Bahasa adalah perwujudan kebudayaan yang merangkum di dalamnya khazanah pemikiran, gagasan, dan ingatan kolektif suatu masyarakat termasuk pengalaman sejarahnya. Sebagai sistem simbol ia hadir sebagai seperangkat jaringan makna kompleks, yang dalam penggunaannya mampu membuat seseorang dapat berkomunikasi dan mengikat tali persaudaraan dan kebersamaan dengan sesama anggota komunitas. Karena itu jika ia dihancurkan atau dirusak sebagai sistem jaringan makna, dan juga makna yang mantap dari setiap kata-katanya, maka hubungan antara anggota sosial akan terganggu pula.

Tanpa bahasa, manusia tidak akan dapat berpikir dan menanggapi dunia sekitarnya dengan baik. Sebab tidak ada manusia yang dapat berpikir di luar bahasa. Schleiermacher (1992) benar ketika berpendapat bahwa dalam hal tertentu bahasa sama dengan pikiran. Kenyataan apa pun yang ada di dunia, penting atau tidak penting bagi manusia, tidak akan memperoleh arti penting kecuali bilamana telah ditanggapi oleh manusia dengan pikiran dan bahasanya. Disintegrasi sosial boleh jadi dimulai dengan perpecahan etnik atau perikaian politik, tetapi kerusakan yang dialami sebuah bahasa tidak akan kalah besar ancamannya bagi disintegrasi sosial. Ini telah digambarkan melalui kisah runtuhnya Menara Babilon.

Dampak globalisasi bagi perkembangan ekonomi dan sekaligus perkembangan kebudayaan, dapat digambarkan melalui penjelasan berikut ini: Dengan globalisasi yang ditingkatkan, diperluas, dan dipercepat mengikuti hitungan deret ukur, maka dunia dan kehidupan dan kehidupan di dalamnya dipaksa merubah atau menyesuaikan diri dengan kecepatan yang sama. Si lumpuh harus lari sama kencangnya dengan seorang sprinter handalan. Si miskin harus sama mampu dengan si kaya dalam memasukkan anaknya ke sekolah unggulan, yang uang mukanya harus dibayar lima kali lipat gaji yang diperolehnya sebulan.

Octavio Paz dalam bukunya yang sarat sindiran One Earth, Four or Five Worlds (1985) menulis: “Pencapaian kebendaan dan politis belum lagi disertai pencapaian kearifan yang lebih tinggi atau kebudayaan yang lebih dalam maknanya. Pemandangan rohani Barat menyedihkan karena gambarnya hanya terdiri dari cita rasa murahan, pemujaan terhadap yang remeh temeh, lahiriah, lahirnya kembali kepercayaan pada tahyul, kemunduran cinta kasih, kenikmatan sekejap melalui layanan media komunikasi.”

Foucoult menggambarkan manusia telah mati dalam abad kita. Mati dalam arti bahwa sebagai subyek transendental yang sadar telah dikebiri bahkan dibuat mati suri (Md Salleh Yaapar 2001). Sebagai gantinya dia dicetak menjadi subyek yang pasif dan kerontang, yang geraknya dikendalikan oleh aturan-aturan dan norma-norma abstrak dari luar dirinya. Segala perilaku dan gerak-geriknya sepenuhnya dituntun oleh dorongan-dorongan tak sadar. Oleh karena itu ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan oleh Foucoult disebut sebagai arkeologi pengetahuan atau kajian kepurbakalaan tentang manusia. Seperti ilmu purbakala, obyek penelitian ilmu seperti itu ialah manusia yang telah lama mati, bahkan telah menjadi fosil seperti Pithecanthropus Erectus Paleo Javanicus alias manusia berdiri tegak dari pulau Jawa.

Hadirin yang mulia,

Berikut ini akan saya bahas kecenderungan-kecenderungan pemikiran kebudayaan yang muncul di negeri ini, yang sedikit banyak mempengaruhi arah dan perkembangan kebudayaan kita.

Ada banyak kecenderungan dalam memahami dan memberi arti terhadap kebudayaan dan ada banyak pula kecenderungan dalam menghubungkan kebudayaan dengan modernitas dan perkembangan masyarakat. Di antara kecenderungan yang dominan ialah pemahaman yang berangkat dari model pembangunan positivistik yang dapat dirunut pada falsafah Comte. Dalam memahami sejarah masyarakat Comte menggunakan model pemahaman linear hirarkis atau gerak mendaki maju. Dalam falsafahnya Comte menggambarkan perkembangan masyarakat dari tahapan primitif menuju tahapan maju (progressif) secara evolusioner. Yaitu dari tahapan mitologi/teologi, melalui tahapan metafisika, akhirnya menuju tahapan puncak yang disebut tahapan falsafah positif. Kemajuan yang dicapai ini ditandai dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, dibanding penguasaan teologi dan falsafah spekulatif atau metafisika.

Paradigma Comtian ini kemudian diubahsuai oleh Rostow untuk menerangkan tahap-tahap pertumbuhan ekonomi. Dalam bukunya The Stages of Economic Growth ia melihat perkembangan ekonomi berdasar sosok lahir dari prasarana alat-alat produksi dan pola konsumsi masyarakat. Menurutnya masyarakat berkembang melalui tahapan tradisional yang bertumpu pada pertanian menuju tahapan take off (tinggal landas) setelah melampui tahapan peralihan (transisi) yang ditandai muncul dan berkembangnya industrialisasi. Belakangan model dan paradigma serupa digunakan oleh Alvin Toffler dalam bukunya The Third Waves. Menurut Toffler, masyarakat post-industrial mengalami perkembangan hingga tahapan sekarang ini melalui tiga gelombang revolusi. Yaitu Revolusi Pertanian, Revolusi Industri, dan Revolusi Teknologi Tinggi yang melahirkan masyarakat berpola konsumsi tinggi disebabkan kemajuan di bidang elektronika, komputer, dan bioteknologi (Umar Kayam 1989).

Teori Rostow mengilhami banyak negara di dunia ketiga, termasuk Indonesia dalam menyusun strategi tahap-tahap pembangunannya, termasuk strategi kebudayaannya. Khususnya pada masa pemerintahan Orde Baru. Bahkan istilah take off yang diperkenalkan olehnya menjadi bahan percakapan dalam berbagai disiplin ilmu, serta dalam perbincangan sehari-hari berkenaan dengan pembangunan. Rancangan Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang telah dilaksanakan beberapa oleh rezim Orde Baru hingga keruntuhannya disusun berdasarkan teori Rostow. Dampaknya secara kultural dapat kita saksikan sampai sekarang, yang oleh Soerjanto Poespowardojo (1993) dijelaskan melalui empat istilah, yaitu reitifikasi, manipulasi, fragmentasi, dan individualisasi (dalam bidang ekonomi: privatisasi). Semua itu terjadi karena pembangunan kurang memberi perhatian pada dimensi moral dan budaya.

Reitifikasi, dari kata Latin res artinya benda, adalah timbulnya anggapan yang meluas bahwa kenyataan harus diwujudkan dalam bentuk-bentuk yang bersifat lahiriah dan dapat diukur secara kuantitatif. Kepuasan akan diperoleh apabila seseorang dihadapkan pada barang yang bersifat kebendaan, angka, statistik, tingkah laku lahiriah, rupa, suara, ucapan dan lain-lain. Misalnya berhasilnya program Keluarga Berencana (KB) diukur dengan meningkatnyua penggunaan akseptor dan kondom, majunya kehidupan beragama ditandai dengan banyaknya pembangunan rumah ibadah, majunya sebuah universitas diukur dari seberapa banyak ijazah telah dikeluarkan.

Manipulasi semakin menjadi-jadi, bukan saja di bidang produksi dengan menggunakan jasa iklan. Tetapi juga dalam persepsi masyarakat tentang banyak hal berkat tayangan film dan sinetron di layar TV. Semakin seringnya adegan kekerasan dan mesum ditampilkan di layar TV membentuk persepsi, pemikiran, dan imaginasi masyarakat cenderung kepada hal-hal yang serba negatif dan permisif. Akibatnya lajunya proses pembangunan juga menyebabkan terjadinya fragmentasi dalam masyarakat, misalnya pembagian kerja dan spesialisasi di lapangan keilmuan. Timbullah pengkotak-kotakan dalam masyarakat berdasarkan profesi dan spesialisasi. Pada saat yang sama gejala individualisasi kian meluas. Dewasa ini meluasnya sikap asosial, kecenderungan anarkis dan egosentris, merupakan tanda bahwa invidualisasi mengarah kepada hal-hal yang negatif. Meluasnya kebiasaan berkata “Masa bodoh!”, “Emangnya gue pikirin”, dan lain-lain sekarang ini adalah contoh kecil dari merosotnya kepedulian individu terhadap nasib dan kondisi orang lain. Hun Tze, filosof Cina abad ke-3 SM, benar. Katanya, “Kodrat manusia itu pada hakikatnya cenderung pada keburukan dan kejahatan.” Oleh karena itu undang-undang dan hukum diperlukan, dalam arti bahwa tindakan yang bermuara kepada kebaikan perlu jaminan dan perlindungan hukum dari negara di samping jaminan politik (Creel 1953). Ini tidak dilakukan oleh pemerintah kita selama bertahun-tahun.

Hadirin yang mulia,

Pengaruh pemikiran positivistik tidak terbatas pada penyusunan strategi pembangunan, tetapi juga pada pemikiran kebudayaan. Ada pula yang tidak mengambilnya secara mentah-mentah, tetapi mengabungkannya dengan aliran pemikiran lain. Ini tampak pada karagan-karangan Takdir Alisyahbana, satu dari sedikit cendikiawan Indonesia yang perhatiannya besar terhadap masalah kebudayaan. Namun seperti kebanyakan pemikiran para cendikiawan lain, kecenderungan ahistoris sangat kuat pada pemikirannya. Dia yakin benar bahwa teori Barat itu universal, dapat dieksplikasikan pada masyarakat mana pun yang sejarah dan watak kebudayaannya bebeda-beda. Padahal seperti teori Timur, yang dibangun berdasarkan norma-norma dan pengalaman sejarah bangsa Timur, demikian juga teori Barat itu – sebagaimana dikemukakan Habermas – dirumuskan berdasar sejarah, pengalaman, dan norma-norma yang terdapat dalam masyarakat Barat.

Mengikuti alur pemikiran positivistik Comte, Takdir Alisyahbana memandang bahwa kebudayaan masa lalu bangsa Indonesia adalah kebudayaan jahiliyah. Dalam Polemik Kebudayaan 1930an dia menentang pemikiran Sanusi Pane yang mencita-citakan kebudayaan Indonesia baru sebagai sinthesa Faust dan Arjuna, yang spiritnya berbeda namun saling melengkapi. Kebudayaan Indonesia baru, menurut Takdir, harus sepenuhnya meniru Barat. Pemikiran Takdir yang paripurna tentang kebudayaan termaktub dalam bukunya Values as Integrating Forces in Personality, Society and Culture (1966, 1974).

Menurutnya sebagai dampak dari penjajahan, kedudukan bangsa Indonesia menjadi sangat terpuruk, miskin dan terkebelakang. Untuk mendorongnya bangkit, kondisi kebudayaannya harus diperbaiki. Caranya merubah pemikiran dan semangatnya. Takdir percaya bahwa hanya dengan mengubah kebudayaannya, bangsa Indonesia bisa bangkit. Konsep kebudayaan yang diperlukan ialah yang dinamis. Dalam pencariannya Takdir berkesimpulan bahwa yang terpenting dalam membangun kebudayaan nasional yang modern ialah etika dalam kaitannya dengan nilai-nilai. Pandangan serupa banyak dianut cendikiawan Indonesia. Dalam lingkait pemikiran Takdir, etika boleh dibaca sebagai etos, keberadaban (civility) dan kebajikan.

Intipati persoalan kebudayaan dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia, menurut Takdir, terletak pada adanya hubungan etika dengan nilai. Sebagai pencipta kebudayaan manusia memiliki kodrat ganda, yaitu sebagai makhluk alam dan makhluk budi. Sebagai makhluk alam manusia itu tunduk pada hukum alam. Sebagai makhluk budi ia dikuasai oleh hukum budi (Geist dalam bahasa Jerman, mind dalam bahasa Inggeris, buddhi dalam bahasa Sanskerta). Ketundukan manusia kepada hukum budi atau Geist-nya itulah yang menentukan kemanusiaan dan memungkinkan manusia menciptakan kebudayaan yang tinggi.

Di sini ia tidak dapat menerima sepenuhnya pemikiran Comtian. Ia memihak pada semangat pemikiran Pencerahan (Aufklaerung) yang melihhat betapa hak-hak dan kebebasan manusia perlu diperhatikan dalam menyusun strategi kebudayaan. Maka ia mempersoalkan, jika manusia terikat kepada hukum budi, di manakah letak kebebasan kehidupan pribadi, masyarakat dan kebudayaan? Kebebasan manusia yang berbudi itu terletak dalam kebebasannya memilih nilai-nilai yang menjadi motivasi, pendorong dan sekaligus tujuan dari perilaku dan perbuatannya.

Berangkat dari pendiriannya ini ia mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan penjelmaan dari proses penilaian dan nilai-nilai yang muncul dari perilaku, perbuatan, perkembangan benda-benda rohani dan jasmani manusia, yang kesemuanya berintegrasi dalam suatu pola atau konfigurasi. Ia juga memberi pengertian versi lain. Baginya kebudayaan adalah ’penjelmaan keaktifan budi manusia menanggapi persoalan-persoalan kehidupan dan nilai-nilai’. Karena kebudayaan adalah penjelmaan nilai-nilai, maka persoalan terpenting bagi kita yang ingin membangun teori kebudayaan ialah membuat pengelompokan secara teliti tentang nilai-nilai. Dalam usahanya itu STA bertolak dari Edward Spranger, yang dalam bukunya Lebensformen (1921) membagi enam nilai yang membuat suatu kebudayaan terjelma: (1) Nilai teori yang menentukan identitas sesuatu; (2) Nilai ekonomi yang berupa kegunaan atau utility; (3) Nilai agama yang berbentuk kekudusan atau das Helige; (4) Nilai seni yang menjelmakan keekpresian atau expresiveness; (5) Nilai kuasa atau politik; (6) Nilai solidaritas yang menjelma dalam cinta, persahabatan, gotong royong, kesadaran kelompok, dan lain-lain.

Keenam nilai itu terdapat pada semua kebudayaan, masyarakat, pribadi, malahan sebagai apriori dari budi manusia. Masing-masing memiliki pula logika, tujuan, norma dan realitas yang berbeda. Ia terjelma dalam suatu integrasi, bergantung pada integrasi pribadi, golongan masyarakat atau komunitas yang menjadi pendukung suatu kebudayaan. Jika nilai teori dan ekonomi bekerjasama, maka suatu masyarakat akan mampu menghadapi hukum alam karena keduanya bersifat rasional. Adapun nilai kuasa dan solidaritas merupakan unsur yang membentuk organisasi kemasyarakatan. Sedangkan nilai agama dan seni jika bekerjasama membentuk aspek ekspresif yang ideal dalam kebudayaan, sebab keduanya dibentuk oleh perasaan, imaginasi, keyakinan dan intuisi. Nilai seni yang tidak didukung oleh nilai religius dan rasional ilmu, cenderung menjadi dekaden. Sebaliknya nilai agama yang tidak didukung nilai seni dan ilmu akan menjadi kering dan beku.

Berdasarkan perspektif pemikiran seperti itulah Takdir memandang krisis kebudayaan modern yang berkembang dewasa ini dan juga menilai kebudayaan yang berkembang dalam komunitas bangsa Indonesia. Dalam tulisannya yang lain dikatakan oleh Takdir (1985) bahwa, alasannya menjadikan kebudayaan Barat yang dinamis sebagai orientasi pemikirannya, disebabkan keinginannya melihat bangsa Indonesia merebut ilmu pengetahuan, kemajuan ekonomi dan tehnologi yang bersifat rasional dalam waktu yang secepat-cepatnya. Kebudayaan Indonesia adalah serba tanggung. Kebudayaan yang tinggi ilmu pengetahuan dan tehnologinya, rakyatnya makmur, masih belum dapat dicapai, sedang kebudayaan gotong royong dan spiritualitas lama, serta moral bangsa Indonesia telah runtuh seruntuh-runtuhnya.

Pemikiran Takdir berakar dalam paham humanisme sejak Renaissance hingga lahirnya neo-positivisme. Tiga narasi besar yang membangunnya ialah: Pertama, pembebasan manusia dari belenggu mitologi dan agama,yang memuncak pada rasionalisme Descartes dan empirisme Locke, yang terpadu dalam idealisme Kant; kedua, kebertujuan Geist (spirit) dalam idealisme Hegel, Fichte dan Schelling; ketiga, hermeneutika makna Wilhem Dilthey dan paham historisme lain. Dari gabungan itu lahirlah paham humanisme sekular dan fundamentalisme rasional (Windelband 1958; al-Attas 1972; Gellner 1992).

Renaissance menghidupkan kembali semangat kebudayaan Yunani dan Romawi yang sekular. Cara berpikir dan struktur kemasyarakatan yang semula berpusat di Gereja berubah mengikuti perubahan cara berpikir seperti itu. Perhatian masyarakat dengan beralih pada masalah-masalah duniawi, sesuai dengan arti kata sekular sendiri yang berasal kata Latin seculum, yang maknanya ialah ‘yang sekarang ini’ atau ‘yang kekinian’, yaitu yang berubah-rubah (al-Attas 1972). Kehidupan masyarakat tidak lagi dilihat sebagai susunan norma-norma sosial berdasar agama, tetapi sebagai hasil dari kesepakatan dan keputusan manusia sendiri yang didasarkan atas ikhtiar akal budinya.

Pemahaman Takdir tentang akal rasional dekat dengan Descartes. Descartes memandang rasionalisme sebagai suatu “proyek ilmu pengetahuan universal yang mampu mengangkat martabat manusia hingga kesempurnaannya tertinggi”. Intuisi intelektual tidak memiliki eksistensi dalam pandangan ini. Tempatnya digantikan oleh persepsi indra yang hasil pengamatannya diatur oleh akal melalui proses abstraksi. Digabung dengan pemikiran fisika Newton, yang memandang jagat raya digerakkan oleh sebuah mesin raksasa dan determinisme ilmiah Spinoza, lahirlah pandangan bahwa gerak maju sejarah dikendalikan oleh mesin raksasa yang antara lain kemudian disebut dialektika sejarah. Mesin ini menggantikan Wujud penggerak kehidupan yang sebelumnya dianggap prima causa dari keberadaan. Menurut Spinoza ketentuan-ketentuan hukum dari mesin raksasa ini tidak dapat diubah lagi. Bukan hanya jiwa manusia, tetapi malahan Tuhan pun tunduk pada ketentuan tersebut (Beardsley 1960; Matson 1966).

Gaung pemikiran Descartes juga ketara dalam pemikiran Takdir. Dia misalnya mengutip ucapan Descartes, “Aku berpikir maka aku ada” (Cogito ergo sum). Kesiumpulannya manusia memiliki bakat bawaan sebagai mahluk yang senang berpikir teoritis. Berpikir teoritis adalah kemampuan menilai (Values 4). Dari pandangan Descartes ini kemudian muncul pandangan bahwa satu-satunya subyek yang berpikir di alam semesta ini dan bebas dari arahan Tuhan ialah manusia. Lahir pula darinya pandangan dualis dikotomis ‘subyek’ dan ‘obyek’, ‘spirit’ (Geist) dan ‘materi’ (Stoof). Yang terakhir ini relatif serupa dengan konsep filosof India aliran Nyaya dan Vaishesika tentang dualisme purusha (roh) dan prkriti (materi).

Pandangan yang memisahkan realitas menjadi spirit dan materi ini merupakan titik tolak historisisme yang tidak kecil pengaruhnya terhadap pemikiran Takdir. Menurut paham historisisme perkembangan sejarah berjalan dalam dua tahap, yaitu tahap bekerjanya spirit atau Geist dan dilanjutkan dengan tahap berkembangnya materi atau Stoof. Spirit bergerak dengan tujuan tertentu dan menjelma subyek yang berpikir. Sedangkan materi menjelma mesin yang bekerja di alam benda-benda atau obyek-obyek yang dapat diindra. Dalam falsafah Kant, jelmaan ‘spirit’ itu disebut ‘subyek transendental’ yang berperan sebagai asas pembentukan sesuatu.

Adalah subyek transendental yang mewujudkan isi perkembangan dunia berupa sesuatu yang ‘dapat dipahami’ (intelligible) secara akliah, termasuk kebudayaan. Dalam kaitan itu Kant membagi dua bidang realitas atau kenyataan. Yang pertama disebut fenomena dan yang kedua disebut noumena. Fenomena ialah dunia empiris yang menggejala, dan noumena ialah yang bersifat das Ding ansich (ada dalam dirinya sendiri), tidak diketahui secara rasional. Karena itu harus ditinggalkan sebagai obyek penelitian ilmiah (Ewing 1938). Kant memberi jalan kepada agama dan kegiatan estetika untuk mencapai kenyataan yang disebut noumena, walaupun secara ilmiah dianggap tidak terlalu penting. Agama dan seni tidak berhadapan dengan realitas obyektif, melainkan dengan realitas yang merupakan manifestasi kenyataan lain .

Pengaruh Kant itu tampak pula pada Takdir ketika dia mengatakan: “Enam proses penilaian dan nilai-nilai ini adalah sebuah hasil kegiatan jiwa a priori manusia, yang inheren dalam jiwa manusia dan maujud sebelum berhubungan dengan dunia luar. Sebagai kegiatan a priori dari jiwa nilai-nilai tersebut merupakan proses yang pasti dalam membentuk kepribadian seseorang sebagaimana kelompok masyarakat...” (Values 18). Tujuan proses penilaian itu katanya ialah untuk mengetahui lingkungan, yaitu mengidentifikasi hal-hal dan kejadian-kejadian (Values 22).

Karena di luar jangkauan pemikiran akal murni, tetapi dari sesuatu yang bersifat transenden maka agama cukup dipandang sebagai wakil dari ‘yang kudus’ (the holy) dan seni wakil ‘ keindahan’ (beauty). Kepentingan manusia terhadap keduanya tidak besar, sebagaimana terucap oleh Kant bahwa keindahan karya seni itu bersifat disinterested delight, suatu kenikmatan yang tidak mengandung pamrih (Beardsley 1960). Adapun pandangan tokoh Pujangga Baru ini tentang sinthesa ilmu berakar pada: pertama, empirisme Locke sang penganjur liberalisme; kedua, positivisme Vico, Comte, dan Mill (Asikin Arif 2005).

Sinthesa ilmu seperti itu melahirkan bentuk-bentuk ilmu sosial dan kemanusiaan yang reduksionistik dan analitik. Di dalamnya kesadaran manusia dan fakta keruhaniannya dilenyapkan (Matson 1966:13). Pikiran dan pemikira manusia tidak penting dalam penelitian ilmiah, begitu pula manusia sebagai subyek yang sadar tidak lebih hanya ilusi. Bagi Comte masyarakatlah yang merupakan roh kehidupan moral, sedangkan perilaku individu hanya fenomenanya. Hanya kemajuan masyarakat saja yang penting. Bagaimana dengan kebebasan? Kebebasan dalam masyarakat kapitalis liberal atau liberal dan positivistik hanya ketundukan seseorang pada aturan dan fundasi pemikiran kapitalis liberal yang reduksionistik, sekular, dan tanpa keimanan. Dengan cara tunduk pada proses rasional masyarakat, seseorang meraih tingkat nalar yang tinggi. Di luar wilayah ilmu dan falsafah liberal positivistik, seseorang tidak akan memperoleh kebenaran. Misalnya dalam agama, metafisika, dan seni (Martineau 1963).

Hadirin yang mulia.

Pandangan positivistik yang memandang perkembangan masyarakat dan kebudayaan sebagai gerak maju berperingkat (linear hirarkies) disanggah oleh filosof-sejarawan yang memandang sejarah sebagai gerak melingkar seperti perputaran musim, dalam arti setiap kebudayaan itu mengenal musim semi, musim panas, musim gugur, dan akhirnya musim dingin. Ibn Khaldun, Oswald Spengler, dan Arnold Toynbee adalah di antara tokoh-tokohnya yang terkenal. Mereka berpendirian bahwa munculnya suatu kebudayaan unik dan setiap kebudayaan memiliki sejarah tersendiri yang tidak sama dengan sejarah munculnya kebudayaan lain.

Beberapa bangsa atau sukubangsa bisa saja menganut agama yang sama, tetapi disebabkan penjadiannya dalam sejarah berbeda, begitu pula interaksinya dengan kebudayaan lain dan adanya pengaruh dari madzab keagamaan yang berbeda, memunculkan keunikan pada masing-masing. Orang Jawa dan Melayu misalnya sama-sama pernah dipengaruhi agama Hindu dan kemudian Islam, tetapi karena proses pembentukannya berbeda maka sulit menyamakan begitu saja antara kebudayaan Jawa dan Melayu. Orang Bugis, Aceh dan Madura sama-sama menganut agama Islam. Tetapi kebudayaan tiga etnik ini memperlihatkan kekhasan masing-masing. Begitu pula dengan kebudayaan Batak, Menado dan Sumba, yang sama-sama Kristen memiliki kekhasan masing-masing disebabkan penjadiannya dalam sejarah berbeda-beda.

Spengler menguraikan pemikirannya dalam bukunya Der Untergang des Abendlandes (Senjakala Barat, 1922). Seraya menguraikan pemikiran falsafahnya tentang sejarah, ia membeberkan hasil penelitiannya mengenai proses terbentuknya kebudayaan-kebudayaan besar di dunia dan kemudian membandingkannya satu dengan yang lain. Dia menyerukan sebuah Revolusi Copernican kedua, tetapi bukan dalam ilmu pengetahuan alam. Melainkan dalam bidang ilmu sejarah dan kebudayaan. Revolusi itu katanya diperlukan untuk membongkar kebohongan kaum positivistik dan rasionalis murni (Effat al-Sharqawi 1981). Seruan Spengler itu masih relevan sampai saat ini.

Salah satu tujuan Revolusi Copernican II ini ialah untuk mengguncang paradigma ilmuan Barat yang beranggapan bahwa kebudayaan Barat merupakan sumbu atau kiblat utama kebudayaan-kebudayaan lain di dunia. Ia juga berpendapat bahwa kesamaan-kesamaan yang tampak pada kebudayaan yang berlainan, yang berjauhan perkembangan sejarahnya, bukan berarti dibentuk dengan asas kerohanian dan semangat yang sama. Dalam mempelajari kebudayaan yang penting ialah memahami substansinya, yaitu jiwa dan semangat yang melatari bentuk-bentuk dan gaya ekspresinya. Kesamaan bentuk dan gaya ekspresi bisa saja terjadi, bahkan antara dua kebudayaan yang tidak punya hubungan satu sama lain. Tetapi jiwa dan semangatnya belum tentu sama. Gaya berpakaian gadis-gadis remaja yang membiarkan perutnya terbuka hingga tampak pusernya, ditiru dari kebiasaan dalam masyarakat Amerika. Tentu motifnya berbeda dengan gaya serupa yang telah lama menjadi kebiasaan wanita-wanita India dan Madura. Dua orang pemuda, satu orang Cina dan satu lagi orang Arab, boleh jadi sama-sama menggunakan sempoa. Bagi si pemuda Cina itu adalah budaya. Bagi si pemuda Arab hanya untuk dapat menghitung secara cepat.

Spengler menganggap teori linear hirarkis yang diperkenalkan kaum positivis didasarkan atas landasan epistemologis yang tidak bermakna dan rasional. Apa alasan memandang Eropa secara kultural merupakan pusat dunia? Karya-karya besar dalam bidang seni, kesusastraan, falsafah, pemikiran keagamaan, dan aneka cabang ilmu, tidak sedikit dilahirkan oleh bangsa Cina, India, Arab, Persia, Mesir, Jepang, Sumeria, Babylonia, dan lain-lain. Agama-agama besar seperti Kristen, Yahudi, Islam, Buddha, Hindu, Kong Hu Cu, Tao, dan lain-lain semuanya lahir di luar kebudayaan Eropa. Lagi pula apakah kebudayaan-kebudayaan seperti India, Cina, Arab, Persia, dan Mesir itu dapat dianggap hanya sebagai substitusi dari kebudayaan Eropa?

Jika kita menginginkan satu tinjauan sejarah yang obyektif, kita perlu melakukan kajian mendalam terhadap suatu kebudayaanm, tanpa memanipulasi dan mengorupsi data-data, sumber-sumber, dampak dan pengaruh kebudayaan lain yang membuatnya mengalami perubahan. Begitu pula kita tidak boleh melupakan pengaruh dari kebudayaan yang kita kaji terhadap kebudayaan lain di dekatnya, seperti misalnya pengaruh kebudayaan Melayu setelah mengalami proses islamisasi terhadap kebudayaan Jawa pada saat agama Islam berkembang pesat. Dalam meneliti suatu kebudayaan, seperti kebudayaan Melayu atau Jawa, kita perlu dipandu oleh pengalaman hidup (erlebnis) dari pelaku-pelaku kebudayaan tersebut. Ini bisa diperoleh dengan membaca karya dan teks-teks lain berkenaan dengan perkembangan kebudayaan tersebut dalam sajarah. Penelitian mendalam tentang kebudayaan tidak boleh hanya didasarkan pengalaman ilmiah yang bersifat mekanistis, sebagaimana dipraktikkan banyak sarjana kita di bidang anthropologi, sosiologi, linguistik, sejarah, dan lain sebagainya. Peralatan lain yang juga diperlukan ialah intuisi dan imaginasi, bukan semata kemampuan merangkai fakta dan mensistemasikannya. Dengan kata lain kita memerlukan kedalaman, bukan semata akal yang cetek.

Kisah indah dan agung tentang kebudayaan, kata Spengler, adalah kisah yang tiada habis-habisnya. Pada masa depan akan muncul kebudayaan-kebudayaan yang tidak terhitung jumlahnya, dan kebudayaan-kebudayaan yang tidak terhitung itu tidak akan mengakui bahwa kebudayaan Barat merupakan sumbu atau kiblatnya. Munculnya kebudayaan adalah tanda kebangkitan spiritual suatu komunitas manusia. Kebangkitan spiritual itu tercermin dalam kreativitas mereka dalam melahirkan karya seni, falsafah, sastra, pemikiran politik, ekonomi, keagamaan, dan lain sebagainya.

Untuk mengetahui wawasan dan pandangan dunia yang melatari terbentuknya suatu kebudayaan, ialah dengan melihat simbol-simbol utama dan konsep-konsep kunci suatu kebudayaan. Pada kebudayaan Yunani simbol utamanya dapat dilihat pada bangunan gedungnya. Bangunan itu membayangkan kosmos sebagai suatu totalitas yang terisolasi, dan tertutup. Atau pada seni arcanya yang cenderung materialistis, di mana seluruh bagian tubuh manusia ditampakkan. Arca-arca atau patung anthromorphis Yunani itu menunjukkan pula kecenderungan pada realisme formal. Seniman Yunani memandang bahwa di sebalik yang formal dan yang tampak itu tidak ada-apa. Ini berpengaruh pada perkembangan seni di Barat hingga saat ini, dan pada gilirannya mempengaruhi perkembangan seni rupa kita di Indonesia.

Pandangan Aristoteles tentang keindahan estetis mencerminkan kecenderungan realisme formal seperti telah dikemukakan. Aristoteles, yang dikenal sebagai bapak formalisme dalam estetika, melihat bahwa keindahan melekat dan terkungkung dalam bentuk lahir. Seni di sini dilihat sebagai mimesis, yaitu imitasi atau tiruan atas kenyataan lahiriah yang diekspresikan kembali setelah diolah secara intelektual (Abdul Hadi W.M. 2008). Patung-patung bugil Yunani seperti telah dikemukakan adalah manifestasinya. Di balik kebugilan seperti itu tidak ada apa-apa lagi. Kosong. Jadi pandangan estetik semacam itu secara tersirat menolak kehadiran Yang Transenden dalam dunia keberadaan.

Sekarang marilah kita kemukakan pentingnya simbol dalam kebudayaan. Simbol utama kebudayaan Mesir kuna adalah lorong. Orang Mesir kuna percaya bahwa roh manusia sadar sedang berjalan di lorong yang sempit yang telah ditakdirkan atas dirinya dan suatu ketika akan menghadap Hakim Agung yang akan menimbang dosa-dosa dan amal salehnya. Ini membuat orang Mesir berhati-hati dalam hidupnya, misalnya pejabat tidak korupsi dan pasangan yang sudah mengikat janji tidak berselingkuh. Simbol orang Cina juga jalan (tao), tetapi berbeda, walau keduanya mengarah pada kedalaman. Bagi orang Mesir hakikat hidup ialah meniti jalan sempit yang telah ditetapkan tanpa terhindari. Sedang pada orang Cina, jalan yang dimaksud ialah sarana untuk mengembara di keluasan alam tempat ia hidup.

Simbol utama orang Arab dan Persia berkenaan dengan ruang hidupnya ialah gua kosmis yang disebut sirdab. Sebab di gua kecil di bukit Hira Nabi Muhammad s.a.w. berkahlwat selama 40 hari dan menerima wahyu pertama. Berdasar ini hidup dipandang pertarungan antara terang dan gelap, atau antara kebenaran dan kebatilan. Keluasan makna dari simbol utama sirdab ini tercermin dalam agama, falsafah, seni, ekonomi, politik, dan pendidikan. Seruan Qur’an “Amar ma`ruf wa nahiy munkar, tu`minuna billah” adalah rujukan utama dari simbol tersebut. Sedang simbol utama orang Jawa barangkali adalah gunungan, yang diungkap dengan berbagai cara seperti nasi tumpeng ketika menyelenggarakan selamatan. Simbol gunungan juga tampak dalam pertunjukan wayang kulit. Dalam pertunjukan wayang kulit, gunungan selalu ditampilkan ketika lakon berakhir.

Berdasarkan kenyataan itu kita mengerti mengapa raja raja Surakarta menyebut dirinya Pakubuwana. Sebutan paku merujuk pada gunung, oleh sebab gunung memang merupakan pakunya bumi. Dalam kebudayaan Jawa klasik, gunungan adalah simbol yang bertalian dengan pusat jagat raya, yang bentuk miniaturnya ialah istana atau kraton. Seperti gunung, kraton adalah tempat darimana kemakmuran dan kesejahteraan tersebar ke sekelilingnya. Kemakmuran kraton terlihat pada melimpahnya kekayaan yang dimiliki seorang raja, keadilan dan kasih sayangnya. Kekayaan gunung adalah muntahan lahar dan lavanya ketika meletus. Walaupun mula-mula mendatangkan penderitaan, letusan gunung itu pulalah yang kelak meembuat sawah-sawah dan lading di sekitarnya subur.

Dalam bidang seni, setiap kebudayaan memilikih corak tertentu yang terus menerus mengalami transformasi. Dalam kebudayaan modern yang materialistis, sesuatu yang tak terhingga digambarkan sebagai yang terbatas. Orang Yunani mengambar dewa-dewa dengan memperlihatkan kekekaran tubuhnya. Dalam kebudayaan Islam sebaliknya. Islam cenderung menjauhi seni arca dan lukisan figurative, karena kedua bidang ini – kecuali dengan transformasi tertentu secara estetik – tidak sesuai dengan jiwa kebudayaan yang menguggulkan abstraksi dan ketakterhinggaan kehadiran Yang Abadi. Arabesque atau seni hias tetumbuhan, lukisan geometri, dan seni kaligrafi adalah pilihan terbaik untuk memelihara keyakinan spiritualnya.

Menurut Spengler, karakter spiritual dan artistik dari kebudayaan Eropa yang telah dipengaruhi agama Kristen terletak pada seni yang ekspresif. Musik mengungkapkan keuniversalan agama Kristen, sebab ia merupakan ungkapan tentang Yang Tak Terhingga. Musik juga adalah bahasa roh, karena Tuhannya orang Kristen ialah roh dan bukan tubuh. Karakter suatu kebudayaan juga tampak dalam pemilihan warna yang dominan. Dalam melukis orang Yunani kuna mengindari warna biru dan hijau, sebab dua warna ini membangkitkan perasaan atas jarak, kejauhan, dan ketakterhinggan yang menakutkan. Sebalikya pelukis Eropa setelah memeluk agama Kristen selalu berusaha menggunakan dua warna itu karena sesuai dengan konsep mereka bahwa alam semesta merupakan suatu ketakterhinggaan. Seniman Arab dan Persia memilih warna keemasan, karena warna ini dapat mengantarkan manusia dari realitas duniawi menuju realitas samawi, dan melalui realitas samawi dapat merasakan kecerlangan sorga.

Kebudayaan, menurut Spengler, lahir melalui kebangkitan jiwa agung. Jika jiwa agung redup dikalahkan oleh kegelapan materialisme maka kebudayaan akan mundur. Jika sosok lahirnya tampak kokoh, sebenarnya itu bukan kebudayaan tetapi peradaban, yang tiada lain ialah kebudayaan material.

Hadirin yang mulia,

Kini tiba waktunya bagi saya untuk mengemukakan beberapa pengertian

tentang kebudayaan dengan menekankan pada aspek kerohanian dan gerak jiwanya dalam merespon tantangan yang dihadapkan pada suatu masyarakat. Dalam bahasa Inggeris untuk kebudayaan digunakan kata culture, yang diambil dari kata agriculture atau pertanian, dan berkaitan dengan kata cult yang antara artinya ialah pemujaan, atau cultivation yaitu pengolahan. Terkait dengan kata kebudayaan ialah kata mind yang artinya pikiran. Jadi kebudayaan berkaitan dengan upaya memelihara dan mengembangkan kehidupan pikiran atau jiwa agar dapat memiliki kecakapan dan kecerdasan mengolah lingkungan hidup untuk keperluan bersama.

Dalam bahasa Arab untuk kebudayaan kadang digunakan kata tsaqafah. Kata ini berkaitan dengan kata tatsaqquf yang artinya ialah pendidikan diri atau kemampuan mengendalikan diri. Kata tsaqafah memiliki arti lebih kurang sama dengan madaniyah, yaitu keberadaban atau civility. Ibn Khaldun, dalam kitabnya al-Muqaddima menggunakan kata hadharah, dari kata hadhir artinya hadir di kota oleh karena di kota saja kebudayaan bisa berkembang. Menurut Ibn Khaldun kebudayaan bisa mekar jika ada negara dan negara dapat mengembangkan peradaban jika diasaskan atas cita-cita spiritual yang terkandung dalam kebudayaan masyarakatnya (Effat Sharqawi 1981).

Aspek batin atau segi spiritual dari kebudayaan atau peradaban mungkin dapat disamakan dengan apa yang disebut Gadamer sebagai bildung, yang dijadikan konsep kunci hermeneutika falsafahnya. Kata bildung dalam bahasa Jerman diambil dari bild yang artinya gambar, yaitu gambar yang tercetak dan tertanam dalam jiwa manusia tentang segala sesuatu seperti gambaran hidup yang ideal, gambar dunia yang didambakan (Weltbild), dan lain sebagainya. Memang tak mudah memberikan definisi kepada konsep bildung. Namun isinya merangkumi gagasan dan wawasan tentang sejarah, seni, kecerdasan, kebajikan, dan simbol-simbol kebudayaan serta maknanya. Bildung juga bisa diberi arti sebagai himpunan ingatan dan cita-cita yang dipelajari seseorang dari pengalaman sejarah, tradisi dan kebudayaan (Gadamer 1976).

Dari bildung muncul konsep kunci lain yang membuat kebudayaan terpelihara dan berkembang dengan baik, yaitu sensus communis atau pengertian bersama. Dari yang kedua ini seseorang mendapat kemampuan untuk memperoleh pertimbangan-pertimbangan praktis dalam menjalani hidupnya. Karena itu kemudian muncul konsep kunci ketiga, yaitu pertimbangan praktis (practical judgment) yang dijadikan acuan seseorang dalam menilai bermutu tidaknya karya seni, dan demokratis dan tidak demokratisnya perilaku politik seseorang atau partai politik. Dari konsep kunci practical judments turun pula konsep kunci keempat, yaitu taste. Orang yang berkebudayaan ditandai dengan seleranya yang tinggi terhadap gaya hidup, seni, ilmu, gagasan-gagasan, pengucapan estetik seperti sastra, musik, dan lain sebagainya (Abdul Hadi W.M. 2008).

Dengan merujuk kepada Rosseau dan Kant, Allan Bloom (1987) melihat bahwa kebudayaan itu lahir dan berkembang sebagai upaya manusia menyeimbangkan antara hasrat-hasrat alaminya dan tuntutan masyarakat. Hasrat alaminya cenderung pada kebebasan mutlak seperti dimiliki binatang, sedang aturan dan norma masyarakat menuntut keberaturan dan keterikatan. Kebudayaan lahir agar kedua hal ini dapat diselaraskan dan berimbang. Dalam kebudayaan naluri hewani tidak ditindas, sebaliknya ikatan sosial juga tidak dihancurkan.

Gagasan seperti itu dapat ditelusuri pada pemikiran banyak filosof sejak lama, baik filosof Timur maupun Barat seperti Kon Fu Tze, Meng Tze, Imam al-Ghazali, Jalaluddin Rumi, Rosseau, dan Immanuel Kant untuk menyebut beberapa contoh saja. Dari pandangan para hukama tersebut kita dapat mengambil contoh lahirnya institusi perkawinan, yang melaluinya keluarga muncul sebagai unit terkecil organisasi yang disebut masyarakat, dan dengan munculnya keluarga individu-individu terhubungkan dalam sistem kekerabatan. Munculnya keluarga-keluarga dan generasi baru pada gilirannya mendorong lahirnya gagasan berkenaan dengan pendidikan.

Perkawinan muncul di satu pihak karena dorongan alami manusia untuk berhubungan seks, dan di lain pihak karena dorongan untuk menjadi anggota sosial yang baik. Hasrat berhubungan seks juga didorong oleh keinginan untuk berkembang biak atau melahirkan keturunan. Tetapi pada dasarnya manusia itu mementingkan diri dan lebih mengutamakan kebebasan dibanding patuh pada aturan. Bahkan pada dasarnya lagi manusia itu, khususnya lelaki, kurang peduli pada anak-anaknya. Juga tidak terlalu berkeinginan memberi pendidikan pada anak-anaknya.

Agar anak-anak tidak terlantar dan tidak pula menjadi beban masyarakat, maka digagaslah institusi keluarga. Agar lembaga keluarga bisa dibangun, sebuah kontrak sosial yang disebut perkawinan dimunculkan. Dengan adanya tali perkawinan dan keluarga, maka individu harus mengendalikan hasrat alaminya. Caranya dengan menunda kenikmatan sebelum kontrak sosial dilakukan, sebagaimana diajarkan oleh agama dan adat. Dengan demikian perkawinan dapat diartikan sebagai penyelarasan antara dorongan alami dan ketentuan sosial yang berfungsi mengendalikan kecenderungan buruk dari dorongan alaminya.

Melalui perkawinan sepasang anak manusia memasuki dunia baru yang disebut kebudayaan. Dorongan-dorongan alaminya, khususnya hasratnya berhubungan seks, dapat terpenuhi denan cara diatur melalui apa yang disebut adab atau civility. Kebudayaan seperti halnya perkawinan adalah pengakuan terhadap kebebasan manusia di satu pihak dan pada pihak lain adalah upaya mengendalikan kecenderungan buruk dari naluri-naluri hewaninya untuk tujuan moral.

Di lain hal lagi perkawinan dapat berlangsung disebabkan adanya cinta. Dua manusia saling mencintai karena adanya hal-hal yang menarik perhatian dari pasangan yang saling menyintai. Daya saling tarik ini merupakan kekuatan tersembunyi dalam diri manusia, yang oleh Sadrudin al-Qunyawi disebut munasabah. Munasabah dapat diterjemahkan sebagai afinitas tersembunyi yang timbul oleh adanya kesadaran bahwa lelaki memiliki kekurangan yang bisa dilengkapi oleh wanita, dan sebaliknya bahwa wanita memiliki kekurangan yang hanya bisa dilengkapi oleh lelaki. Adanya munasabah melahirkan gagasan tentang keindahan, kemolekan, kecantikan, kejelitaan, kelembutan, dan lain sebagainya di satu hal, serta keperkasaan, kegagahan, dan sebagainya di lain hal. Begitu pula dengan gagasan tentang kebajikan yang tidak dijumpai pada orang yang dikuasai hawa nafsu atau naluri hewani, dengan sendirinya akan lahir dan berkembang pula. Sebab hanya melalu kebajikan manusia dapat bergaul dengan sesamannya dan dengan kebajikan pula kebudayaan dapat berkembang.

Dalam sebuah perkawinan, gagasan tentang keindahan dan kebajikan membuat hubungan seksual mengalami sublimasi, pemuliaan. Begitulah cinta. Selanjutnya setelah membara, maka kini cinta mencari ungkapan dalam puisi dan musik. Karena itu dalam kebudayaan apa pun, sublimasi hasrat seksual pada puncaknya dijumpai dalam karya seni. Ilmu pengetahuan, falsafah, dan teologi tidak sanggup megungkapkan kesejatian cinta beserta keriangan dan kepiluan spiritual manusia yang mengalami lika-liku cinta dalam hidupnya. Dari sinilah estetika lantas tampil, bersama-sama etika, menjadi daya utama pemberi hayat bagi kebudayaan (Bloom 1987).

Agar etika dan estetika, dua daya utama pemberi hayat pada kebudayaan itu berkembang dan tertanam dalam diri manusia, maka muncul dorongan baru pada masyarakat, yaitu keharusan mengembangkan lembaga pendidikan. Melalui pendidikan keluarga terhubungkan dengan keluarga lain. Jadi melalui perkawinan dan pendidikan manusia dituntun agar tidak hanya berpikir tentang dirinya dan mementingkan dirinya. Ia harus mulai berpikir juga tentang orang lain, tentang masyarakat, agama, kesenian, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Melalui itu semua, yaitu cinta, keluarga, dan politik, yang semula dirasakan sebagai pemisah dan menyusahkan manusia, lantas ditata sedemikian rupa. Dengan cara itu gasrat-hasrat alami dan dorongan-dorongan manusiawi masyarakat memperoelh pemenuhan, namun dengan cara dikendalikan.

Melalui pendidikan seseorang juga memperoleh kecakapan intelektual tertentu dan potensi rohaninya yang terpendam bisa berkembang. Kecakapan intelektualnya bukan sekadar dandanan atau asesori, tetapi kekuatan untuk membantu dan memperkaya kehidupannya. Sebab fungsi kebudayaan ialah mengintegrasikan apa yang telah ada dalam masyarakat atau komunitas, maka kebudayaan yang benar tidak sekadar main copot apa saja yang terdapat dalam kebudayaan bangsa lain. Sementara itu khazanah intelektual, artistik dan kearifan yang telah dimiliki bangsanya dilupakan, dibuang, dan dianggap tidak ada. Ini kekeliruan besar dari kebijakan pendidikan di Indonesia.

Kebudayaan yang sejati adalah milik bersama anggota sebuah komunitas yang disebut bangsa atau etnik. Karena itu kebudayaan selalu dikaitkan dengan komunitas, entah etnik atau bangsa. Kebudayaan tidak pernah dikaitkan dengan orang seorang atau suatu kelompok kecil manusia, seperti kelompok aliran keagamaan tertentu, klub penggemar burung perkutut, kumpulan artis penyanyi dangdut atau komunitas pembuat film kartun. Kebudayaan terkait dengan bangsa, Karena itu jika kita menyebut kebudayaan selalu menempelkan nama bangsa di belakangnya. Maka ada kebudayaan Jerman, kebudayaan Jepang, atau kebudayaan Jawa. Tetapi tidak ada kebudayaan Bismarck, kebudayaan Hirohito, atau kebudayaan Pakubuwana. Kebudayaan Hindu, kebudayaan Islam, dan kebudayaan Kristen ada., kendati sayangnya diingkari oleh pembuat kebijakan pendidikan sehingga tidak perlu dimasukkan sebagai bagian dari mata pelajaran mesti diajarkan di sekolah menengah dan perguruan tinggi. Tetapi kebudayaan Hare Rama Krishna, kebudayaan Tariqat Naqsabandiyah, dan kebudayaan jemaat Pantekosta tidak ada.

Dalam pengertian ini kebudayaan bersifat memelihara, baik kebersamaan maupun kebebasan individu. Kebersamaan ada jika ada solidaritas, yaitu apa yang disebut ashabiyah oleh Ibn Khaldun, gotong royong oleh Bung Karno, kolektivisme oleh Bung Hatta. Kebersamaan membuat hidup menyenangkan. Selain itu kebudayaan dapat memulihkan kesatuan apabila masyarakat terancam perpecahan. Kebudayaan juga mengembalikan apa yang sering hilang pada manusia, yaitu cinta dan rasa persaudaraan dengan sesamanya. Karena tujuan kebudayaan ialah menciptakan kesatuan dan kebersamaan, maka yang menjadi ancaman utama bagi kebudayaan ialah politik praktis dan anarkisme. Anarkisme apa saja termasuk anarkisme penggunaan bahasa dan penafsiran agama. Politik praktis sarat dengan kepentingan kelompok, bahkan individu. Karena itu politik merupakan aktivitas manusia yang paling berpotensi menimbulkan perpecahan. Berdasarkan keyakinan ini seyogyanya kebudayaan tidak boleh diklaim oleh suatu kelompok politik tertentu. Nasionalis atau cinta persatuan tidak boleh menjadi monopoli Golkar atau PDIP. Kebudayaan juga tidak boleh dicemari oleh kepentingan politik. Sebab memang tidak ada dan tidak akan pernah ada apa yang disebut kebudayaan PAN, PKS atau Partai Demokrat.

Kebudayaan dimaksudkan untuk mengangkat martabat atau harkat manusia sebagai makhluk spiritual. Simbol dari tingginya martabat manusia terletak pada kebajikan, kecerdasan, dan kreativitasnya. Kitab-kitab suci besar dan dasar-dasar etika seperti yang ditemui dalam Buddhisme, Islam, Kristen dan Konfusianisme, menurut Yukichi Fukuzawa mengajarkan yang demikian. Jadi ancaman utama bagi kebudayaan tidak datang dari agama. Ancaman utama bagi kebudayaan adalah datang dari kecenderungan umum yang disebut komersialisasi, yang sekarang ini tumbuh pesat karena kehidupan sosial ekonomi dan sosial budaya kita dikuasai oleh pasar bebas. Komersialisasi merupakan ancaman besar bagi kebudayaan, sebab dalam sejarah adalah komersialisasi yang menjadi sumber utama terjadinya pendangkalan kebudayaan.

Selain itu kebudayaan yang sejati mencerminkan keberakaran. Ini berarti bahwa yang disebut kebudayaan ialah sistem nilai, pandangan hidup, pola pikir, gambaran dunia, ethos kerja, semangat hidup, dan tata cara tang benar-benar berakar dalam kehidupan dan sejarah suatu komunitas yang disebut bangsa atau sukubangsa. Jika tidak punya akar dalam tradisi panjang bangsanya, maka tentulah kebudayaan seperti itu adalah kebudayaan jiplakan. Pendidikan dan pengajaran kebudayaan yang ahistoris, artinya tidak memberi perhatian sama sekali terhadap khazanah intelektual, kearifan, dan kebajikan yang pernah dilahirkan oleh bangsanya, membuka peluang tercerabutnya bangsa kita dari akar sejarah dan kebudayaannya. Dalam sejarah banyak contoh menerangkan bahwa bangsa yang seperti itu akan mudah rontok dan kehilangan martabat di tengah pergaulan internasional. Sebaliknya bangsa yang berakar kuat dalam sejarah dan tradisi budaya masa lalunya akan dapat mempertahankan eksistensinya di tengah krisis apa pun yang menggoncang kehidupan ekonomi dan politiknya.

Turki bentukan Mustafa Kemal Pasya adalah contoh. Dia beranggapan dengan meniru Barat negeri dan bangsanya akan maju serta dapat bersaing dengan bangsa Eropa . Dalam kenyataan bangsa itu tidak pernah maju. Malahan ahli sejarah menyebutnya sebagai Eropa yang sakit. Tetapi Jepang berbeda. Komponen peradaban Barat yang ditiru hanya sebatas sains dan teknologi. Tetapi spirit bangsa itu berakar dalam sejarahnya sendiri. Ia tidak perlu meminjam ethos Protestan Eropa untuk memajukan kebudayaan dan peradabannya, tetapi cukup mentransformasikan semangat bushido-nya dalam segala sektor kehidupan.

Orang Indonesia dapat mempelajari feng shui dan sempoa tanpa banyak kesulitan. Tetapi untuk mempelajari ethos Konfusianisme memerlukan waktu yang lama dan seseorang harus melalui latihan yang berat serta lama. Demikian juga jauh lebih mudah mempelajari yoga India dibanding mempelajari semangat belajar orang India yang tinggi termasuk kecintaannya pada kesusastraan.

Hadirin yang mulia,

Saya tidak menyimpulkan sesuatu pun dalam perbincangan ini, sebab pandangan saya tentang kebudayaan dan arah kebudayaan kita sudah jelas. Saya hanya ingin menutup perbincangan ini dengan sebuah kisah seorang penakluk besar dalam sejarah yaitu Iskandar Agung sebagaimana digambarkan dalam sebuah hikayat Persia lama. Setelah berhasil melakukan penaklukan yang menakjubkan di seantero bumi, Iskandar merasa letih dan bosan. Ia ingin hidup abadi agar dapat bersenang-senang dan menikmati hasil perjuangannya mengumpulkan harta dan menaklukkan banyak negeri. Khaidir memberi tahu bahwa untuk dapat hidup kekal ia harus minum air hayat (ma` al-hayat) yang terdapat di dalam lautan. Ia kemudian melakukan perjalanan jauh bersama juru masaknya Andras. Setelah mengembara selama bertahun-tahun, dia putus asa karena air hayat yang dicarinya tidak dijumpai. Iskandar lantas berpisah dengan juru masaknya dan masing-masing memutuskan menempuh jalan yang berbeda. Di tepi sungai, tidak jauh dari pertemuan dua lautan, Andras berhenti untuk makan. Ketika ia membuka baskom tempat menyimpan ikan yang sudah dimasak, tiba-tiba sepercik air mengenai ikan itu. Ikan melompat ke sungai dan hidup kembali. Andras mengejar ikan itu dan akhirnya tenggelam dalam air hayat yang membuatnya hidup lama.

Mungkin itulah sebabnya juru masak lebih diperlukan sepanjang zaman dibanding penakluk besar. Sayangnya juru masak tidak menciptakan sejarah, sedangkan para penakluk berhasil mencipta, bukan hanya satu sejarah tetapi banyak sejarah. Wallahua`lam bisssawab.

Sekian saja. Terimakasih. Wa bi`l-taufiq wa`l-hidayah.

Wassalamu’alaikum wr wb.

Daftar Rujukan:

Abdul Hadi W. M. ”Takdir Alisjahbana dan Pemikiran Kebudayaan”. Dalam

Refleksi.Vol VIIII, No. 3, 2006. ( 299p319).

Ali al-Hakim (2005). ”Globalisasi Terpilih and Globalisasi-globalisasi

Hegemonik”. Dalam Pemerintahan Akhir Zaman. Ed. Oliver Leaman.

Jakarta: Al-Huda.

Al-Attas, S. M. Naquib (1972). Islam dan Sekularisme., Bandung: Pustaka.

Amir De Martino (2005). Amerika Serikat dan ’Globalisasi Kapitalis’”. Dalam

Pemerintahan Akhir Zaman. Ed. Oliver Leaman. Jakarta: Al-Huda.

Arend, Hannah (1958). The Human Condition. Chicago: Chicago University

Press.

Asikin Arief (2005). ”Filsafat Kebudayaan Sutan Takdir Alisjahbana dan

Tantangan Post-Modernisme”. Dalam Sang Pujangga. Ed. Abdul Karim

Mashad. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Beardsly, Monroe C. (1960). The European Philosophers from Descartes to Nietzsche.

New York: Modern Library.

Bendix, Reinhard (1967). ”Tradition and Moderdity Reconsidered”. Comparative

Studies on Society and History. 9 (April 1967): 292-346.

Bloom, Allan (1987). Thew Closing of the American Mind. New York: Simo

and Schuster.

Chattergee, Partha (1993). The Nation and Its Fragments: Colonial and Post-Colonial

Histories. Princeton: Princeton University Press.

Creel, H. G. (1989). Alam Pikiran Cina Sejak Confucius sampai Mao Ze Dong. Terj.

Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Dilthey, Wilhelm ( (1957). Das Erlebnis und die Dichtung.: Lessing, Goethe, Novalis,

Hoelderlin. Gottingen: Vandenhoek & Ruprecht.

Dilthey, Wilhelm (1962). Hermeneutics and the Study of History. Ed. R. A. Makkreel

and F. Rodi. Princeton, New Jersey: Princeton University Press.

Dirks, Nicholas B. (ed. 1992). Colonialism and Culture. Ann Arbor: University

Michigan Press.

Edward Said (1993). Culture and Imperialism. London: Chatto & Windus Ltd.

Effat al-Sharqawi (1981). Falsafah al-Hadharah al-Islamiyyah. Beirut: Dar al-

Nadhdhah al-`Arabiyyah.

Euben, Roxanne L. (1999). Enemy in the Mirror: Islamic Fundamentalism and the

Limits of Modern Rationalism. Princeton, New Jersey: Princeton University

Press.

Fukuzawa, Yukichi (1973). An Outline of a Theory of Civilization. Tewrj. D. A.

Dilworth and G. . Cameron. Tokyo: Sophia Unversity.

Gadamer, Hans-Georg (1976). The Relevance of Beautiful and Other Essays.

Cambridge: Cambridge University Press.

Gellner, Ernest (1992). Posmodernism, Reason and Religion. London and New York:

Routledge and Kegan Paul.

Hawthorn, Geoffrey (1987). Enlightenment and Despair. Cambridge: Cambridge

University Press.

Huntington, Samuel P (1986). The Clash of Civilization and the Remaking of World Order. New York: Simon & Shuster.

Lawrence, Bruce B. (1989). Defenders of God. San Fransisco: Harper & Row.

Martineau, Harriet (1963). The Positive Philosophy of August Comte. London:

Oxford University Press.

Matson, Floyd (1966). The Broken Image: Man, Science and Society. New York:

Double Day Company.

Md. Salleh Yaapar (2002). Ziarah ke Timur. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan

Pustaka.

Paz, Octavio (1985). One Earth, Four or Five Worlds: Reflections on Contemporary

History. Terj. Helen. San Diego: Harcourt Bracejovanovich.

Pheng Cheah and Bruce Robbins (ed. 1998). Cosmopolitics: Thinking and Feeling

Beyond the Nation. Minneapolis: University of Minnesotta Press.

Schleiermacher, Friedrich (1992). Hermeneutics and Criticism. Ed. dan terj. Andre

Bowie. Cambridge: Cambridge University Press.

Spengler, Oswald (1960), The Decline of the West. Terjemahan dari Der Untergang

des Abendlandes. Oleh C. F. Atkinson. New York: Oxford University Press.

Strauss, Leo (1953). Natural Right and History. Chicago: University of Chicago

Press.

Soerjanto Poespowardojo (1993). Stretegi Kebudayaan Suatu Pendekatan Filosofis.

Jakarta: PT Gramedia.

Umar Kayyam (1989). Transformasi Budaya Kita. Yogyakarta: Universitas Gadjah

Mada.

Windelband, Wilhelm (1958). A History of Philosophy. New York: Harper and

Row.